SAYA, PEMELUK KATOLIK, MENENTANG KATA KAFIR DIGANTI NON-MUSLIM
Rekomendasi mengubah istilah kafir menjadi non-muslim ini sungguh sia-sia belaka. Saya, sebagai penganut Katolik, menuntut istilah kafir tetap dipertahankan.
Sebuah dunia segala sempurna punya hikayat. Di sana, bentuk bibir setiap manusia satu ragam, yaitu membentuk sesungging senyum. Sudah default begitu, tidak bisa tidak. Setiap bayi yang lahir, selalu punya bentuk yang sama. Kekhasan ini sudah dimulai bermilenia yang lalu. Tidak ada yang tahu secara pasti. Namun satu hal yang pasti, semua manusia menikmati wabah senyum ini.
Sudah selalu tersenyum, pokok pembicaraan sehari-hari adalah soal bercocok tanam, merawat sapi dan kerbau, menengok orang yang sakit, hingga menjaga irigasi tetap lancar. Mereka akan gelisah, lalu tahu diri, ketika pokok pembicaraan sudah menyenggol soal agama. Mereka lantas berbisik-bisik, supaya tidak terdengar orang lain. Bahkan, saking risihnya, mereka tak mau berbicara soal agama.
Namun bukan berarti agama itu tidak ada. Mereka membicarakannya di ruang-ruang yang sunyi, di kamar-kamar tertutup. Seorang diri, mereka memuji Tuhan. Sebetulnya tidak sendirian, karena mereka sedang berkomunikasi dengan Tuhan. Secara intim dan terbuka. Agama adalah koridor tertutup, dan hanya terbuka kepada hati masing-masing, dan Tuhan masing-masing.
Mereka saling mengabarkan waktunya beribadah di jam-jam tertentu. Suaranya lantang, bergema ke segala penjuru negeri. Si pelantang punya suara merdu, memanggil karib dan saudara untuk segera beribadah. Ada lagi pemeluk agama lain, menggunakan semacam penanda yang berdentang setiap misa hendak dimulai. Gemanya lebih ringan, namun terdengar jelas di hati masing-masing pemeluk.
Antara pemeluk agama yang berbeda, mereka menggunakan panggilan yang sama, yaitu “saudaraku”. Tanpa sematan “non-“ atau “kafir” atau “bukan golongan kami”. Dunia segala sempurna itu memancarkan kebahagiaan dan kedamaian. Begitu seterusnya sampai akhir zaman tiba dan semua manusia pergi ke surga.
Sebuah dunia bernama Indonesia punya hikayat yang berbeda. Kegaduhan dan konflik adalah bumbu. Namanya juga hidup, katanya tak menarik kalau tidak ada “bumbu”. Because life is never flat, katanya. Makanya, segala hal perlu diperdebatkan, bahkan sampai soal koridor privat, semacam agama, misalnya.
Baru-baru ini, Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU yang digelar di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, memberi beberapa rekomendasi. Salah satunya adalah menghentikan penggunakan istilah kafir. NU, lewat Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj, menyarankan kita semua menggunakan istilah non-muslim, alih-alih kafir,
Said Aqil mengatakan istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa. Maka setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata konstitusi. Karena itu yang ada adalah non-muslim, bukan kafir.
Said Aqil mengisahkan, istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekah, untuk menyebut orang yang menyembah berhala, tidak memiliki kitab suci, dan agama yang benar. “Tapi Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, tidak ada istilah kafir bagi warga Madinah. Ada tiga suku non-muslim di madinah, di sana disebut non-muslim, tidak disebut kafir,” kata Said menjelaskan.
Wah, sungguh menyejukkan kalimat Said Aqil dan rekomendasi dari NU. Terima kasih. Namun, perlu saya tegaskan di sini, saya, pemeluk agama Katolik, menolak istilah kafir dihapus.
Meminjam kalimat Abdul Moqsith Ghazali, “…penyebutan kafir dapat menyakiti warga non-muslim di Indonesia,” saya kira saya tidak tersakiti. Toh rekomendasi semacam ini muskil dilakukan. Alim ulama, ustaz, pemimpin agama Islam boleh merekomendasikan, tapi di akar rumput, tanpa perubahan yang radikal, rekomendasi itu pasti dianggap angin lalu.
Mereka yang sudah kadung dengan pemeluk agama di luar Islam, bakal sulit menerima rekomendasi NU. Ini bukan pesimif. Ini realistis. Lha wong namanya saja “rekomendasi”. Tidak dijalankan pun ya tidak kena yang namanya dosa.
Alasan kedua, kata kafir yang dianggap “menyakiti warga non-muslim di Indonesia” justru menjadi keuntungan bagi kami golongan kafirun. Bukankah doa mereka yang teraniaya itu lebih didengar oleh Tuhan? Makanya, tolong, jangan ambil jalan pintas kami ketika sedang memohon kepada Tuhan. Kami tidak perlu sampai nangis-nangis memohon, bahkan sampai mengancam.
Kami tinggal berbisik, “Bro, tolonglah murid-muridmu ini. Kami sedang dalam kesulitan.” Enak betulan. Sekali lagi, tolong jangan ambil jalan pintas kami.
Kalau memang ingin sebuah perubahan yang “radikal”, mengapa kita semua tidak menggunakan nama agama secara langsung sebagai rujukan. Alih-alih susah payah menggunakan non-muslim, mengapa tidak langsung bilang, “Mas Yama itu Katolik” bukan “Mas Yama itu non-muslim”. Oiya, saya baru ingat. Di dunia Indonesia, kalau bisa dibikin ribet, ngapain dipermudah.
Saya berani taruhan tabungannya Agus Mulyadi. Di luar sana, pasti banyak yang lebih suka disebut “Dia Hindu”, “Dia Buddha”, “Dia Kristen”, ketimbang disebut non-muslim. Lebih ringkas dan lebih mudah ditulis ketika bikin artikel.
Sebagai Katolik yang santai dan luwes, saya nggak masalah disebut kafir. Toh, sebutan itu tidak melunturkan kecintaan Tuhan kepada saya, dan demikian juga sebaliknya. Kata kafir juga nggak bikin saya lalu kejang-kejang, panas dingin, meriang, bisulan, dan gelisah.
**
Di sebuah persimpangan jalan menuju surga, warga dari dunia segala sempurna bertemu warga dari dunia bernama Indonesia.
Warga dunia sempurna, dengan rosario melingkar di lehernya: “Halo, saudaraku, ayo belok kanan. Ngapain belok kiri. Itu ke neraka, lho.”
Warga dunia Indonesia: “Santai saja, non-muslim. Kami sudah terbiasa, kok.”
-TAMAT-
Yamadipati Seno
https://mojok.co/yms/ulasan/pojokan/jangan-ganti-kafir-jadi-non-muslim/
Rekomendasi mengubah istilah kafir menjadi non-muslim ini sungguh sia-sia belaka. Saya, sebagai penganut Katolik, menuntut istilah kafir tetap dipertahankan.
Sebuah dunia segala sempurna punya hikayat. Di sana, bentuk bibir setiap manusia satu ragam, yaitu membentuk sesungging senyum. Sudah default begitu, tidak bisa tidak. Setiap bayi yang lahir, selalu punya bentuk yang sama. Kekhasan ini sudah dimulai bermilenia yang lalu. Tidak ada yang tahu secara pasti. Namun satu hal yang pasti, semua manusia menikmati wabah senyum ini.
Sudah selalu tersenyum, pokok pembicaraan sehari-hari adalah soal bercocok tanam, merawat sapi dan kerbau, menengok orang yang sakit, hingga menjaga irigasi tetap lancar. Mereka akan gelisah, lalu tahu diri, ketika pokok pembicaraan sudah menyenggol soal agama. Mereka lantas berbisik-bisik, supaya tidak terdengar orang lain. Bahkan, saking risihnya, mereka tak mau berbicara soal agama.
Namun bukan berarti agama itu tidak ada. Mereka membicarakannya di ruang-ruang yang sunyi, di kamar-kamar tertutup. Seorang diri, mereka memuji Tuhan. Sebetulnya tidak sendirian, karena mereka sedang berkomunikasi dengan Tuhan. Secara intim dan terbuka. Agama adalah koridor tertutup, dan hanya terbuka kepada hati masing-masing, dan Tuhan masing-masing.
Mereka saling mengabarkan waktunya beribadah di jam-jam tertentu. Suaranya lantang, bergema ke segala penjuru negeri. Si pelantang punya suara merdu, memanggil karib dan saudara untuk segera beribadah. Ada lagi pemeluk agama lain, menggunakan semacam penanda yang berdentang setiap misa hendak dimulai. Gemanya lebih ringan, namun terdengar jelas di hati masing-masing pemeluk.
Antara pemeluk agama yang berbeda, mereka menggunakan panggilan yang sama, yaitu “saudaraku”. Tanpa sematan “non-“ atau “kafir” atau “bukan golongan kami”. Dunia segala sempurna itu memancarkan kebahagiaan dan kedamaian. Begitu seterusnya sampai akhir zaman tiba dan semua manusia pergi ke surga.
Sebuah dunia bernama Indonesia punya hikayat yang berbeda. Kegaduhan dan konflik adalah bumbu. Namanya juga hidup, katanya tak menarik kalau tidak ada “bumbu”. Because life is never flat, katanya. Makanya, segala hal perlu diperdebatkan, bahkan sampai soal koridor privat, semacam agama, misalnya.
Baru-baru ini, Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU yang digelar di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, memberi beberapa rekomendasi. Salah satunya adalah menghentikan penggunakan istilah kafir. NU, lewat Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj, menyarankan kita semua menggunakan istilah non-muslim, alih-alih kafir,
Said Aqil mengatakan istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa. Maka setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata konstitusi. Karena itu yang ada adalah non-muslim, bukan kafir.
Said Aqil mengisahkan, istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekah, untuk menyebut orang yang menyembah berhala, tidak memiliki kitab suci, dan agama yang benar. “Tapi Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, tidak ada istilah kafir bagi warga Madinah. Ada tiga suku non-muslim di madinah, di sana disebut non-muslim, tidak disebut kafir,” kata Said menjelaskan.
Wah, sungguh menyejukkan kalimat Said Aqil dan rekomendasi dari NU. Terima kasih. Namun, perlu saya tegaskan di sini, saya, pemeluk agama Katolik, menolak istilah kafir dihapus.
Meminjam kalimat Abdul Moqsith Ghazali, “…penyebutan kafir dapat menyakiti warga non-muslim di Indonesia,” saya kira saya tidak tersakiti. Toh rekomendasi semacam ini muskil dilakukan. Alim ulama, ustaz, pemimpin agama Islam boleh merekomendasikan, tapi di akar rumput, tanpa perubahan yang radikal, rekomendasi itu pasti dianggap angin lalu.
Mereka yang sudah kadung dengan pemeluk agama di luar Islam, bakal sulit menerima rekomendasi NU. Ini bukan pesimif. Ini realistis. Lha wong namanya saja “rekomendasi”. Tidak dijalankan pun ya tidak kena yang namanya dosa.
Alasan kedua, kata kafir yang dianggap “menyakiti warga non-muslim di Indonesia” justru menjadi keuntungan bagi kami golongan kafirun. Bukankah doa mereka yang teraniaya itu lebih didengar oleh Tuhan? Makanya, tolong, jangan ambil jalan pintas kami ketika sedang memohon kepada Tuhan. Kami tidak perlu sampai nangis-nangis memohon, bahkan sampai mengancam.
Kami tinggal berbisik, “Bro, tolonglah murid-muridmu ini. Kami sedang dalam kesulitan.” Enak betulan. Sekali lagi, tolong jangan ambil jalan pintas kami.
Kalau memang ingin sebuah perubahan yang “radikal”, mengapa kita semua tidak menggunakan nama agama secara langsung sebagai rujukan. Alih-alih susah payah menggunakan non-muslim, mengapa tidak langsung bilang, “Mas Yama itu Katolik” bukan “Mas Yama itu non-muslim”. Oiya, saya baru ingat. Di dunia Indonesia, kalau bisa dibikin ribet, ngapain dipermudah.
Saya berani taruhan tabungannya Agus Mulyadi. Di luar sana, pasti banyak yang lebih suka disebut “Dia Hindu”, “Dia Buddha”, “Dia Kristen”, ketimbang disebut non-muslim. Lebih ringkas dan lebih mudah ditulis ketika bikin artikel.
Sebagai Katolik yang santai dan luwes, saya nggak masalah disebut kafir. Toh, sebutan itu tidak melunturkan kecintaan Tuhan kepada saya, dan demikian juga sebaliknya. Kata kafir juga nggak bikin saya lalu kejang-kejang, panas dingin, meriang, bisulan, dan gelisah.
**
Di sebuah persimpangan jalan menuju surga, warga dari dunia segala sempurna bertemu warga dari dunia bernama Indonesia.
Warga dunia sempurna, dengan rosario melingkar di lehernya: “Halo, saudaraku, ayo belok kanan. Ngapain belok kiri. Itu ke neraka, lho.”
Warga dunia Indonesia: “Santai saja, non-muslim. Kami sudah terbiasa, kok.”
-TAMAT-
Yamadipati Seno
https://mojok.co/yms/ulasan/pojokan/jangan-ganti-kafir-jadi-non-muslim/
Tags:
Tajuk