Tom Saptaatmaja: Bersatu Melawan Terorisme

Tom Saptaatmaja
Teolog

SIAPA pun yang peduli martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan pasti prihatin atas aksi teror di negeri ini. Belum kering air mata keluarga korban atas tewasnya lima anggota polisi dalam kerusuhan di Mako Brimob pada 8-10 Mei lalu, aksi teror kembali memakan korban di Surabaya, Jawa Timur. Minggu (13/5) pagi teror dengan bom bunuh diri menyasar tiga gereja dan menewaskan 13 orang serta melukai lebih 40 lainnya.

Presiden Jokowi yang langsung berkunjung ke Surabaya, didampingi Kapolri, menyebut teror bom di tiga gereja sebagai aksi biadab. Presiden juga meminta polisi mengusut jaringan terorisme sampai ke akar-akarnya. Presiden juga menegaskan bahwa negara dan seluruh rakyat tidak pernah takut dan meminta aksi teror di Surabaya tidak dikaitkan dengan agama.

Seperti kita tahu, teror berasal dari kata terere bahasa latin, yang artinya menakut-nakuti atau yang menyebabkan ketakutan. TP Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk memengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstranormal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan.

Menurut Webster’s New World College Dictionary (1996), terorisme adalah the use of force or threats to demoralize, intimidate, and sub-jugate. Umumnya para ahli sepakat bahwa teroris me memiliki elemen kekerasan, punya tujuan politik atau pesan bagi audiens yang dituju oleh aksi mereka.Meski ada beberapa tulisan mengajak kita memahami terorisme, tapi sebenarnya sungguh sulit memahaminya. Kita tidak habis pikir bagaimana satu keluarga memilih jalan teror.

Seperti dijelaskan oleh Kapolri (Minggu 13/5) bahwa patut diduga, pelaku bom di tiga gereja Surabaya adalah salah satu keluarga. Menurut Kapolri, pelaku di Gereja Pantekosta Pusat di Jalan Arjuna adalah sang ayah yang bernama Dika Supriyanto. Sang ayah sebelumnya sempat mengantarkan istri dan dua anak perempuannya ke Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro. Istrinya, yakni Puji Kuswanti, dan dua anak perempuannya, yakni Fadilasari, 12, dan Pamela Rizkta, 9, meledakkan diri di sana. Sementara di lokasi ketiga yakni di Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya, pelaku berjumlah dua orang. Mereka diduga adalah anak laki-laki dari Dika Supriyanto, yakni Yusuf, 18, dan Lukman, 12. Kita tidak tahu motif di balik aksi mereka.

Memang Presiden Jokowi sudah meminta terorisme tak dikaitkan dengan agama. Namun, kenyataannya setiap teroris selalu menghayati aksi teror mereka sebagai perjuangan membela agama. Kita jadi bertanya-tanya negara macam apa yang hendak mereka bangun jika cara-cara biadab sudah mereka halalkan?

Perang Wacana

Pengaitan terorisme dan agama membuktikan bahwa perlawanan menghadapi terorisme sudah memasuki kawasan yang lebih substantif lagi, tidak semata-mata konflik fisik, melainkan sudah memasuki kawasan konflik wacana atau gagasan guna merebut hati dan pikiran banyak orang.

Di satu sisi, ormas besar Islam seperti NU atau Muhammadiyah lantang mengutuk teror di Surabaya dan menyebut terorisme itu jahat dan biadab. Namun, di sisi lain, ada kalangan yang justru diam dan tidak mengutuk aksi teror di Surabaya. Ada pula yang menyebut aksi teror sebagai rekayasa atau pengalihan isu politik. Bahkan ada yang diam-diam setuju dan menganggap aksi teror sebagai sesuatu yang wajar, bahkan baik.

Jelas ada yang salah jika tindakan terorisme yang kekejamannya atas para korban di luar batas kemanusiaan masih mendapat dukungan dan pembenaran. Dukungan itu ada karena  para teroris dianggap sedang ber­jihad di Jalan Allah. Para teroris memang punya konsep cosmic war, yakni peperangan antara yang baik dan yang jahat. Para teroris selalu merasa berjuang di jalan kebaikan. Semua teroris punya keyakinan demikian.

Jadi, sungguh mengerikan ketika para teroris sudah membajak agama dan menjadikan perjuangannya tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya. Malah guna menyebarkan gagasan tersebut, para teroris membuat ratusan situs di internet dan aktif memanfaatkan media sosial guna mempromosikan radikalisme dan intoleransi atau ajakan untuk masuk surga dengan menjadi pembom bunuh diri. Teknik membuat bom juga diajarkan dengan jelas.

Paus dan Sinergi Banyak Pihak

Meski demikian, kita jangan tergoda menyamakan terorisme dengan agama (Islam). Paus Fransiskus  dalam berbagai kesempatan selalu menegaskan bahwa menyamakan Islam dengan terorisme adalah suatu kesalahan (The Daily Mail, 1/12/2014). “Itu tidak benar, itu keliru untuk menyatakan Islam terkait dengan terorisme,” kata Paus yang berbicara kepada wartawan di atas pesawat dalam penerbangan kembali dari Warsawa, Polandia, Minggu (31/7/2016). ”Saya yakin, tidak benar untuk memadankan Islam dengan kekerasan,” tegas Paus, seperti dikutip kantor berita AFP (1/8/2016).

Meski demikian, Paus Fransiskus juga menyerukan agar pemimpin muslim berani mengecam aksi para teroris guna membantu menghilangkan anggapan Islam sebagai agama yang penuh kekerasan. Pernyataan Paus sebenarnya hendak menggarisbawahi bahwa terkait terorisme, musuh bersama kita bukan umat beragama lain. Jika kita menyamakan Islam dengan terorisme, pasti akan terjadi kekacauan luar biasa di dunia dan kekacauan seperti itulah yang dikehendaki para teroris.

Jadi, mari belajar bijak seperti Paus agar tidak masuk dalam jebakan teroris yang suka mengadu domba sesama manusia dan antarpenganut agama. Maka itu, mari jadikan terorisme musuh bersama bangsa ini karena terorisme adalah kejahatan luar biasa yang menyebabkan kematian dan kesengsaraan. Banyak korban terorisme di Tanah Air, seperti Bom Bali I dan II,  hingga kini masih mengalami cacat fisik dan trauma berkepanjangan.

Jadi kita bersatu dan jangan mau diadu domba oleh para teroris yang punya agenda memenangkan wacana bahwa terorisme itu perjuangan yang baik. Mari kita berani mengecam bahwa terorisme itu jahat dan keliru. Mari juga bersinergi menghadapi terorisme. Perlu sinergi banyak pihak, mulai pemerintah dalam hal ini BNPT dan Densus 88,DPR, MUI, media, pengguna med­sos, pengurus RT/RW, dan sebagainya.  Terorisme tidak bisa dihadapi sendirian.

Yang terpenting, seperti disampaikan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), DPR hendaknya menyelesaikan revisi Undang-Undang Antiterorisme. Seperti diketahui, salah satu poin misalnya para guru yang mengajarkan radikalisme yang memicu terorisme di­mungkinkan dijerat hukuman. Selama ini yang bisa dihukum hanya para teroris di lapangan. Sedangkan para mastermind yang menanamkan ajaran radikal atau intoleransi justru belum tersentuh hukum kita. l(wib)

Sumber: Sindonews.com

إرسال تعليق

أحدث أقدم