Oleh: Hengky Yeimo
Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam bukunya berjudul “Sembilan Elemen Jurnalisme” menuliskan sembilan elemen jurnalistik, sebagai acuan wartawan dalam melaksanakan tugas peliputan. Pada poin pertama dituliskan dengan jelas bahwa tugas utama praktisi jurnalisme adalah memberitakan kebenaran. Kebenaran yang dimaksudkan bukan perdebatan filsafat atau agama, tapi kebenaran fungsional yang sehari-hari diperlukan masyarakat.
Berangkat dari hal di atas, penulis menyadari bahwasannya penting untuk menjabarkan artikel bertajuk “Orang Papua, Media, dan Kebenaran” dalam perspektif Papua.
Perspektif Papua hemat penulis adalah bagaimana orang asli Papua (OAP) memandang media dalam mewartakan kebenaran yang dibutuhkan masyarakat di Papua, sesuai dengan elemen-elemen jurnalistik yang dikemukakan tersebut.
Desas-desus di kalangan masyarakat mengenai media dewasa ini dalam memberitakan kebenaran perlu dijabarkan dalam sebuah tulisan. Jika tidak dituliskan secara mendetail mengenai media dan kebenaran ini, maka OAP dari generasi ke generasi akan selalu berpandangan miring terhadap media. Padahal, di sisi lain, media massa mempunyai peranan penting selain memberitakan kebenaran, sarana pendidikan, dan hiburan.
Media massa merupakan satu-satunya sarana untuk mendapatkan informasi yang akurat dan kredibel. Namun, sangat parah jika media tidak menjawab kebutuhan masyarakat Papua, untuk mendapatkan informasi yang benar. Mungkin ini pertanyaan mendasar mengapa OAP selalu protes atas ketidaknetralan media dalam memberitakan informasi sesuai dengan kebenaran yang dibutuhkan itu. Pertanyaanya apakah media di Papua mampu menjawab kebutuhan masyarakat di tengah era revolusi industri seperti sekarang ini?
Masyarakat di Papua juga perlu menyadari bahwa seorang wartawan, yang menganut ideologi apa pun dalam memberitakan sebuah informasi, kebenaran selalu menjadi hal utama dan terutama bagi mereka dalam melakukan kerja jurnalistik.
Begitu juga dengan komunikan lainnya. Mereka sangat membutuhkan informasi yang real, akurat dan benar yang disajikan media massa, baik cetak maupun elektronik.
Di era revolusi industri dan revolusi media dewasa ini kebenaran bisa saja direkonstruksi. Meski demikian, media tidak bisa merekonstruksi kepercayaan publik dalam menilai kebenaran yang sesungguhnya. Itulah tantangan pegiat media dewasa ini.
Sebagai wartawan, penulis justru merasa tertantang untuk mengejar dan memberitakan kebenaran yang dibutuhkan masyarakat.
Mengapa masyarakat Papua protes terhadap media massa?
Seorang pendiri Greenpeace Paul Waston pernah memunculkan ide tentang perilaku media massa. Menurutnya konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran (Listorini 1999 dalam Sobur Alex, 2009: 87).
Antara realita dan kebenaran juga menjadi sebuah masalah besar, karena apabila media massa turut memutar-balikkan fakta yang bukan tugas media massa, dan apabila media memutar-balikkan fakta tandanya media tersebut sudah tidak lagi independen dan melanggar Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dan Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999.
Untuk itu perlu diketahui bahwa jika masyarakat tidak puas dengan kinerja media massa dalam memberitakan sebuah informasi, maka masyarakat juga mempunyai hak untuk memberikan hak jawabnya kepada media yang bersangkutan. Hal ini dijamin dalam UU Pers.
Dalam praktiknya banyak warga/masyarakat Papua yang sudah mendatangi media-media lokal untuk mengklarifikasi pemberitaan yang dianggap keliru.
Dalam pada itu, orang Papua peka dan sangat cerdas dalam melontarkan kritikan yang pedas terhadap pemberitaan media massa. Masyarakat juga cerdas dalam mem-framing sebuah berita yang direkonstruksi oleh media massa. Karena bagi masyarakat media adalah pilar terpenting dalam kehidupan berdemokrasi.
Keinginan masyarakat dalam mendapatkan sebuah informasi yang benar mewakili realita cukup tinggi. Mau tidak mau, media juga harus memberitakan kebenaran karena orang Papua sudah menganggap media sebagai bagian dari hidup. Mereka mendapatkan informasi yang terjadi di seluruh Tanah Papua melalui pemberitaan media.
Hal itu juga menandakan bahwa umumnya orang Papua menyadari keberadaan media sebagai pilar demokrasi. Masyarakat Papua sangat lihai dalam “bermedia”, karena mereka juga turut mencermati, mem-framing berita berdasarkan kebenaran yang dibutuhkan--kebenaran sebagaimana yang diutarakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiel.
Perilaku masyarakat Papua di era sekarang ini tentunya menjadi rekomendasi bagi generasi muda Papua ke depan. Bahwasannya kebenaran selalu menjadi prioritas.
Kemudian sebagai pembaca berita yang baik pertama-tama harus memahami konteks pemberitaan dan isinya baru memberi kesimpulan. Ini juga penting bagi generasi muda Papua.
Jika masyarakat beranggapan bahwa media massa di Papua itu benar-benar mewakili realitas, dan menjalankan fungsinya sebagai media kontrol publik, itulah media yang berpihak dan mewakili masyarakat yang termarginalkan atau tertindas oleh sistem yang ada.
Perlu diketahui bahwa media itu menjadi sebuah rujukan bagi masyarakat Papua, sebab selain memberitakan kebenaran, media juga turut mendidik masyakat. Dengan demikian, media yang layak dikonsumsi bukan lagi berorientasi pada bisnis dan rubrikasi yang ditentukan oleh pemerintah.
Berangkat dari kesadaran tersebut apakah orang Papua harus mendirikan media independen banyak-banyak untuk mengakomodir kepentingan rakyat Papua? Ini pertanyaan yang harus dipecahkan bersama, baik oleh OAP, maupun non-OAP yang tinggal di Papua untuk mendapatkan informasi yang akurat.
Kebangkitan media online—media alternatif di Papua, merupakan suatu bentuk perlawanan orang Papua terhadap dominasi kekuasaan pemerintah dalam pemberitaan di media massa. Apakah ini wajah pers modern atau jurnalisme kolonial? Mari kita refleksikan bersama. Namun, yang terpenting adalah OAP sudah memahami bagaimana manajemen dan kepemilikan media yang menjurus ke jurnalisme kolonial.
Jurnalisme kolonial itu akan tampak dalam pemberitaan yang memutar-balikkan fakta. Jujur, bahwa ketika rakyat mulai memahami praktik media media seperti penjelasan di atas, maka ini (jurnalisme alternatif) akan menjadi senjata melawan penindasan. (*)
Tags:
Opini