Ngasiman Djoyonegoro
Direktur Eksekutif Center of Intelligence and Strategic Studies (CISS), Penulis Buku “Intelijen di Era Digital“ (2017) dan “TNI dan Ancaman Baru Dunia Pertahanan” (2015)
Menjelang bulan Ramadan, Indonesia diguncang serangan terorisme. Kali ini bom bunuh diri diledakkan di sejumlah rumah ibadah di Surabaya (13/5).
Tak tanggung-tanggung, terdapat lima serangan terorisme dalam kurun waktu 25 jam. Sebanyak 13 orang meninggal dan puluhan lainnya luka-luka. Aksi terorisme saat ini bisa dibilang merupakan aksi terparah setelah kejadian bom Thamrin pada awal 2016 lalu. Salah satu penyulut eskalasi aksi terorisme ini berawal dari insiden di Mako Brimob Depok yang menewaskan lima anggota polisi dan satu narapidana teroris. Pascatragedi itu, sel-sel jaringan terorisme dihidupkan. Pasalnya, sebelum insiden Surabaya, berapa aksi terorisme juga meruyak di sejumlah daerah namun berhasil digagalkan aparat kepolisian.
Penangkapan terduga teroris di Tambun Bekasi ataupun penembakan mati empat terduga teroris di Cianjur, Jawa Barat, adalah beberapa contoh. Jika dipetakan, rentetan teror yang terjadi di Surabaya dan beberapa daerah lainnya tidak bisa dipisahkan dari jaringan Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Dita Fukrianto, salah satu pelaku aksi di Surabaya adalah Ketua JAD, yang bersama keluarganya baru kembali dari Suriah setelah bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Fakta inilah memperkuat argumentasi bahwa aksi terorisme yang terjadi belakangan bukan sekadar faktor agama, tapi ada kaitan dengan geopolitik internasional lantaran ISIS sebagai dalangnya.
Pan dangan ini misalnya pernah disampaikan Robert Pape dalam hasil risetnya berjudul Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism (2005). Menurutnya, dari sekian banyak kasus teroris, fundamentalisme agama hanyalah sebagai kedok karena di belakangnya bertumpu kepentingan kapital global. Karena itu, kendatipun aksi terorisme yang terjadi di Indonesia kerap dilakukan oleh orang Indonesia sendiri, tapi tidak bisa dibantah bahwa aksi tersebut merupakan suatu gabungan antara pelaku domestik (indigenous) dengan mereka memiliki jaringan trans-nasional (trans-national networks). Inilah mengapa upaya membasmi terorisme harus melibatkan segenap komponen bangsa, tidak cukup hanya diserahkan kepada Polri.
Konvensi Jenewa ber tajuk Prevention and Punishment of Terrorism (1937) pernah menggambarkan perbuatan teroris sebagai “criminal acts directed against a state and intended and calculated to create a state of terror in the minds of particular persons or group of persons or the general public”. Terorisme adalah musuh bersama dan musuh dunia karena itu harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tentu salah satu fungsi sinergi antara TNI dan Polri adalah dalam mengoptimalkan peringatan dini, deteksi dini, pencegahan, dan menangkal perkembangan terorisme di Indonesia.
TNI memiliki kemampuan intelijen dan kemampuan teritorial sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 ayat(2) UU Nomor 34/2004 serta memiliki rantai komando (chain of command) sampai tingkat desa melalui Babinsa (Bintara Pembina Desa). Begitu halnya Polri. Sebagai aparat terdepan dalam menjaga keamanan Indonesia, Polri selama ini menjadi tumpuan dalam penegakan hukum pemberantasan terorisme serta melakukan tindakan preventif dan represif terhadap ancaman terorisme. Dengan kelebihan masing-masing, sinergi antara TNI dengan Polri dalam menumpas terorisme diharapkan akan lebih maksimal.
Namun, meski sudah mengetahui informasi lengkap, kepolisian tidak bisa bertindak sebelum ada kejadian atau barang bukti. Di sinilah titik dilema kepolisian sehingga menjadi serba salah. Karena itu, revisi UU Terorisme menjadi hal mendesak segera dituntaskan.
Pertama, revisi UU Terorisme berfungsi memperkuat fungsi pencegahan. Pasalnya, salah satu pangkal masalah sulitnya melawan sekaligus mencegah terorisme ialah tak cukup tersedianya perangkat undang-undang komprehensif untuk payung hukum bagi aparat mendeteksi dini potensi tindakan teror sebagai upaya pencegahan. Sebagai contoh, BIN misalnya perlu diberi otoritas untuk bisa melakukan pencegahan dalam mengatur lalu lintas perdagangan ilegal senjata api dan juga kontrol ketat terhadap beredarnya aneka bahan peledak yang dijual bebas. Termasuk bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam pemantauan transaksi keuangan yang mencurigakan. Hal ini penting sebagai upaya pencegahan.
Kedua, revisi UU Terorisme memberikan ruang gerak lebih luas kepada kepolisian untuk memberantas terorisme. Sebab salah satu kelemahan UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah sulitnya melakukan tindakan terhadap aktivitas individu atau organisasi masyarakat yang mengandung unsur atau punya afiliasi dengan terorisme.
Sebagai contoh, pihak in telijen ataupun kepolisian misalnya sudah mengetahui bahwa ada ratusan kelompok radikal kembali dari Suriah, yakni markas besar ISIS. Namun, aparat tak mampu berbuat apa-apa karena tak punya keleluasaan ataupun payung hukum untuk melakukan tindakan terhadap mereka. Inilah kemudian selalu membuat intelijen dan aparat kepolisian dituduh kecolongan dan seolah-olah membiarkan. Padahal intelijen dan aparat sejatinya tidak bisa berbuat apa-apa lantaran tak ada payung hukumnya.
Karena itu, sekali lagi, revisi UU Terorisme kini menjadi penting. Tentu di atas itu semua, pelibatan segenap elemen masyarakat dalam upaya mencegah aksi terorisme ini juga sangat dibutuhkan. Sebagai musuh bersama, terorisme harus dilawan. Setiap dari kita punya kewajiban untuk melawannya! (zik/https://nasional.sindonews.com)
Direktur Eksekutif Center of Intelligence and Strategic Studies (CISS), Penulis Buku “Intelijen di Era Digital“ (2017) dan “TNI dan Ancaman Baru Dunia Pertahanan” (2015)
Menjelang bulan Ramadan, Indonesia diguncang serangan terorisme. Kali ini bom bunuh diri diledakkan di sejumlah rumah ibadah di Surabaya (13/5).
Tak tanggung-tanggung, terdapat lima serangan terorisme dalam kurun waktu 25 jam. Sebanyak 13 orang meninggal dan puluhan lainnya luka-luka. Aksi terorisme saat ini bisa dibilang merupakan aksi terparah setelah kejadian bom Thamrin pada awal 2016 lalu. Salah satu penyulut eskalasi aksi terorisme ini berawal dari insiden di Mako Brimob Depok yang menewaskan lima anggota polisi dan satu narapidana teroris. Pascatragedi itu, sel-sel jaringan terorisme dihidupkan. Pasalnya, sebelum insiden Surabaya, berapa aksi terorisme juga meruyak di sejumlah daerah namun berhasil digagalkan aparat kepolisian.
Penangkapan terduga teroris di Tambun Bekasi ataupun penembakan mati empat terduga teroris di Cianjur, Jawa Barat, adalah beberapa contoh. Jika dipetakan, rentetan teror yang terjadi di Surabaya dan beberapa daerah lainnya tidak bisa dipisahkan dari jaringan Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Dita Fukrianto, salah satu pelaku aksi di Surabaya adalah Ketua JAD, yang bersama keluarganya baru kembali dari Suriah setelah bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Fakta inilah memperkuat argumentasi bahwa aksi terorisme yang terjadi belakangan bukan sekadar faktor agama, tapi ada kaitan dengan geopolitik internasional lantaran ISIS sebagai dalangnya.
Pan dangan ini misalnya pernah disampaikan Robert Pape dalam hasil risetnya berjudul Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism (2005). Menurutnya, dari sekian banyak kasus teroris, fundamentalisme agama hanyalah sebagai kedok karena di belakangnya bertumpu kepentingan kapital global. Karena itu, kendatipun aksi terorisme yang terjadi di Indonesia kerap dilakukan oleh orang Indonesia sendiri, tapi tidak bisa dibantah bahwa aksi tersebut merupakan suatu gabungan antara pelaku domestik (indigenous) dengan mereka memiliki jaringan trans-nasional (trans-national networks). Inilah mengapa upaya membasmi terorisme harus melibatkan segenap komponen bangsa, tidak cukup hanya diserahkan kepada Polri.
Sinergi TNI-Polri
Sebagai bentuk penjajahan gaya baru yang terkait dengan geopolitik dan geostrategi internasional, sinergi antara TNI-Polri dalam menumpas terorisme di Indonesia sangat diperlukan. Persoalan terorisme bukan sekadar persoalan keamanan, tapi juga masalah pertahanan sebuah negara dari kolonialisme model baru. Sebab terorisme merupakan suatu bentuk ancaman yang dapat mengganggu stabilitas keamanan dan mengancam kedaulatan suatu negara.Konvensi Jenewa ber tajuk Prevention and Punishment of Terrorism (1937) pernah menggambarkan perbuatan teroris sebagai “criminal acts directed against a state and intended and calculated to create a state of terror in the minds of particular persons or group of persons or the general public”. Terorisme adalah musuh bersama dan musuh dunia karena itu harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tentu salah satu fungsi sinergi antara TNI dan Polri adalah dalam mengoptimalkan peringatan dini, deteksi dini, pencegahan, dan menangkal perkembangan terorisme di Indonesia.
TNI memiliki kemampuan intelijen dan kemampuan teritorial sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 ayat(2) UU Nomor 34/2004 serta memiliki rantai komando (chain of command) sampai tingkat desa melalui Babinsa (Bintara Pembina Desa). Begitu halnya Polri. Sebagai aparat terdepan dalam menjaga keamanan Indonesia, Polri selama ini menjadi tumpuan dalam penegakan hukum pemberantasan terorisme serta melakukan tindakan preventif dan represif terhadap ancaman terorisme. Dengan kelebihan masing-masing, sinergi antara TNI dengan Polri dalam menumpas terorisme diharapkan akan lebih maksimal.
Revisi UU Terorisme
Tentu sinergi TNI-Polri saja tidak cukup. Harus ada payung hukum kuat dan mendukung pemberantasan terorisme di Indonesia. Salah satunya revisi UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebab terkait aksi terorisme ini, publik tidak bisa menyalahkan sepenuhnya Badan Intelijen Negara (BIN) dan aparat kepolisian lantaran telah lalai dan kecolongan. Karena BIN di bawah komando Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan sejatinya sudah memberikan support informasi lengkap kepada pihak aparat, termasuk sel-sel jaringan yang ada.Namun, meski sudah mengetahui informasi lengkap, kepolisian tidak bisa bertindak sebelum ada kejadian atau barang bukti. Di sinilah titik dilema kepolisian sehingga menjadi serba salah. Karena itu, revisi UU Terorisme menjadi hal mendesak segera dituntaskan.
Pertama, revisi UU Terorisme berfungsi memperkuat fungsi pencegahan. Pasalnya, salah satu pangkal masalah sulitnya melawan sekaligus mencegah terorisme ialah tak cukup tersedianya perangkat undang-undang komprehensif untuk payung hukum bagi aparat mendeteksi dini potensi tindakan teror sebagai upaya pencegahan. Sebagai contoh, BIN misalnya perlu diberi otoritas untuk bisa melakukan pencegahan dalam mengatur lalu lintas perdagangan ilegal senjata api dan juga kontrol ketat terhadap beredarnya aneka bahan peledak yang dijual bebas. Termasuk bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam pemantauan transaksi keuangan yang mencurigakan. Hal ini penting sebagai upaya pencegahan.
Kedua, revisi UU Terorisme memberikan ruang gerak lebih luas kepada kepolisian untuk memberantas terorisme. Sebab salah satu kelemahan UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah sulitnya melakukan tindakan terhadap aktivitas individu atau organisasi masyarakat yang mengandung unsur atau punya afiliasi dengan terorisme.
Sebagai contoh, pihak in telijen ataupun kepolisian misalnya sudah mengetahui bahwa ada ratusan kelompok radikal kembali dari Suriah, yakni markas besar ISIS. Namun, aparat tak mampu berbuat apa-apa karena tak punya keleluasaan ataupun payung hukum untuk melakukan tindakan terhadap mereka. Inilah kemudian selalu membuat intelijen dan aparat kepolisian dituduh kecolongan dan seolah-olah membiarkan. Padahal intelijen dan aparat sejatinya tidak bisa berbuat apa-apa lantaran tak ada payung hukumnya.
Karena itu, sekali lagi, revisi UU Terorisme kini menjadi penting. Tentu di atas itu semua, pelibatan segenap elemen masyarakat dalam upaya mencegah aksi terorisme ini juga sangat dibutuhkan. Sebagai musuh bersama, terorisme harus dilawan. Setiap dari kita punya kewajiban untuk melawannya! (zik/https://nasional.sindonews.com)