Salmah Naelofaria : Mengkaji Puisi Sukmawati

Salmah Naelofaria
Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan
Putri Proklamator Bung Karno, Sukmawati Soekarnoputri saat jumpa pers di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Rabu (4/4/2018). Foto/SINDOphoto/Eko Purwanto

PUISI Sukmawati yang mem­bang­kit­kan jejak ke­pe­du­lian religi itu kini menjadi pembicaraan masya­ra­kat. Berbagai tingkatan sosial dan usia memper­bin­ca­ngk­an­nya. Karya balasan lahir di mana-mana.

Tetiba rakyat men­jadi penyair dadakan yang me­miliki kekuatan luar biasa dalam melahirkan kata, tak peduli rentetan itu melukai atau tidak. Kenapa emosi itu mem­buncah?

Seharusnya puisi adalah se­deretan kata yang penuh de­ngan sense dan amanat yang luar biasa. Larik-larik yang me­ng­undang daya bayang, meski tidak tercampur dengan seribu bahasa. Namun, ada apa dengan puisi Sukmawati itu? Seorang budayawati yang menuai kon­tro­versi hanya karena per­gu­mul­an diksi?

Puisi itu bebas, pun dia ada­lah karya sastra yang bisa me­la­hirkan dan meng­aki­bat­kan multitafsir. Seorang pe­nu­lis be­bas mengungkapkan apa yang dia rasakan, tidak lepas dari teo­ri puisi itu sendiri yang mem­berikan kesempatan ke­pa­da kita untuk me­num­pahkan imaji visual, imaji au­ditif, mau­pun imaji taktil (perasaan).

Ung­­kap­an itu be­bas ditulis da­lam rang­kai­an kata apa saja, de­notatif dan konotatif yang ber­sahut-sa­hutan. Tapi sa­yang, tan­pa dik­si se­ga­la la­­mu­nan dan daya ba­yang yang di­ingin­kan akan meng­hi­lang­kan nilai estetik dari sebuah puisi.

Dik­si adalah nyawa dari se­buah puisi. Pe­mi­lihan kata yang dilakukan tidak sekadar kata yang bisa me­wakili perasaan, tapi kata yang bisa membawa pembaca mau­pun pendengar berada pada situasi yang kita harapkan. Feeling da­lam puisi ditentukan oleh ke­li­haian penulisnya da­lam menata diksi.

Mari kita buka kembali lirik dalam larik puisi Sukmawati tersebut. Terdapat kalimat “Aku tak tahu syariat Islam”. Sebagai negara yang mul­ti­kul­tural dan me­mi­liki ragam ke­per­cayaan tentu hal ini menjadi perta­nya­an. Kenapa ha­rus me­nying­gung label aga­ma? Berte­pat­an agama ter­se­but adalah cakupan ma­yo­ri­tas negeri ini. Sarat makna tentu saja terjadi, tak ada hujan tak ada angin tetiba pada awal puisi tersebut ada kata Islam.

Ketika dikla­ri­fikasi sang pem­baca pui­si tersebut menjawab bahwa dia memilih susunan larik tersebut mengingat bahwa ti­dak semua wanita Indonesia me­ngenal aturan Islam. Lalu muncul lagi pertanyaan, ke­na­pa harus agama Islam, bu­kan­kah masih banyak lagi agama lain di negeri ini?

Jika ditelaah pemilihan kata (diksi) tidak mengenal syariat Islam, menumbuhkan pena­f­siran bahwa sah-sah saja se­se­orang itu tidak mengenal sya­riat Islam. Bukankah syariat itu adalah hal pokok dalam agama? Aturan hukum yang mene­tap­kan peraturan hidup manusia. Lalu sebenarnya apa tujuan penulis mengukuhkan ke­ti­dak­tahuannya terhadap hal ter­pen­ting dari agama? 

Makna puisi bisa juga lahir saat kita lihat larik berikutnya. “Yang ku tahu sari konde Ibu In­do­nesia sangatlah indah “. Di sini, penulis memuji melebihi mak­na dari larik sebelumnya. Ter­dapat perbandingan antara dua pengetahuan yang dimiliki dan tidak dimiliki oleh penulis, yak­ni tahu konde ibu Indonesia dan tidak tahu syariat Islam.

Benar jika deretan ini menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda. Sepenting itukah sari konde? Atau sebesar itukah ketidakpedulian terhadap syariat? Sensitivitas terhadap agama pun tidak da­pat dihindarkan. Andaikata Suk­mawati mau menegaskan se­cara rinci maksud dari diksi yang mengundang tanda tanya tersebut, maka alangkah indahnya pertanggungjawabannya.

Larik berikutnya tidak kalah aneh, terdapat imaji penulis yang menyampaikan bahwa “Yang kutahu sari konde Ibu In­do­nesia sangatlah indah, lebih can­tik dari cadar dirimu”. Bu­kankah “cadar” adalah bagian dari umat Islam? Cadar adalah pakaian penutup wajah yang dipakai oleh muslimah ber­jil­bab se­ba­gai penutup diri dan au­r­atnya.

Kembali dipe­r­ban­dingkan ke­in­dahannya dengan konde pada Ibu Indonesia. Se­sungguhnya siapa Ibu In­do­ne­sia itu sendiri? Apa­kah hanya me­reka yang me­makai kon­de d­i­se­but Ibu In­do­ne­sia? Lalu bercadar ti­dak lebih indah dari berkonde? Pembaca se­makin heran de­ngan ukuran keindahan di mata penulis puisi.

Per­bandingan yang tidak ho­mo­genitas, per­ban­dingan yang ter­kesan dipak­sakan. Me­nying­gung se­ke­lompok umat yang men­ja­lan­kan syariat tanpa mem­per­li­hatkan konde dan me­nampar muslimah yang menambahkan cadar sebagai pe­nu­tup dirinya dari kejahatan yang dapat me­ng­ganggu ke­ima­nan­nya.

Apakah per­band­i­ng­an yang selalu con­dong ke agama ini bersifat menyudut­kan atau me­nye­rang satu go­longan ter­ten­tu? Seba­gai bangsa de­mo­kra­si yang se­dang di­war­nai pesta po­litik, tentu lum­rah jika ada yang ber­pikir demikian. Itulah sebab me­ngapa puisi viral ini sangat rentan terhadap pe­nafsiran yang berdampak pada wacana dan kekuasaan.

La­rik yang meng­undang per­gumulan pen­dapat beri­kut­nya ada­l­ah “yang ku tahu suara ki­dung Ibu Indonesia sangatlah elok, lebih merdu dari alunan azan­mu “. Lagi-lagi muncul label agama yang menyisakan tanya berikutnya.

Kenapa diksinya melancong lagi ke suara azan. Apalagi dalam kalimat ini ter­dapat kata “mu “ yang artinya ke­pemilikan. Kita sadari bahwa satu-satunya pemilik azan ini adalah Allah SWT. Adakah larik ini ditujukan kepada pencipta semesta? Jika benar, sungguh penulis begitu berani mem­ban­ding-bandingkan azan yang sa­ngat mulia dengan hal lain yang tidak pernah ada dalam syariat-Nya.

Tidak heran jika masya­rakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam, meng­abai­kan apresiasi penulis dari puisi ini. Imaji mereka tidak sukses merasakan sense dari pe­nulis sendiri. Bertolak belakang dengan batin, merasa dire­meh­kan, dan tentunya tidak bisa memahami letak bahasa figu­ratif putri mantan presiden per­tama Indonesia ini.

Azan adalah istilah yang sangat sakral, sim­bolis, dan panggilan suci oleh Allah kepada hambanya. Ha­rus­kah kita membuat skala pe­ni­laian bunyi yang suci tersebut de­ngan bunyi lain yang dimak­sud­kan penulis puisi? Sungguh sangat sarat makna.

Seharusnya puisi mela­hir­kan ketenangan, memberikan wawasan, dan memperhalus bu­di pekerti. Hal tersebut ada­lah hakikat dari karya sastra yang sebenarnya. Sastra dipe­la­jari seluruh lapisan pendidikan di muka bumi karena sastra ada­lah seni yang tidak bisa di­le­paskan dari kehidupan ma­nu­sia.

Puisi adalah bagian dari sastra, yang menjadi penguat jiwa di saat kata-kata konkret bertebaran menumpuk di be­la­han pikiran dunia. Alunan kata pada puisi adalah nyawa yang mampu melahirkan nyawa-nya­wa lain. Kehidupan jiwa yang tidak kalah penting dari kehidupan jasmani kekar berkelakar.

Mari kita jadikan puisi se­bagai ajang seni dan mengasah imaji, bukan sebagai gergaji yang memotong diri sendiri. (whb)
Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1295291/18/mengkaji-puisi-sukmawati-1522869330
أحدث أقدم