Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
ISRA Mikraj Nabi Muhammad SAW dari Masjidilharam ke Masjidilaqsha dan dari Masjidilaqsha menuju Sidratil Muntaha membawa pesan utama berupa kewajiban salat lima waktu dalam sehari semalam. Dari segi cara penetapan syariat salat, yaitu dengan mengaudiensikan hamba-Nya, Muhammad SAW di Sidratil Muntaha, salat merupakan ibadah fisik, mental spiritual, dan moral yang luar biasa signifikan bagi kehidupan muslim.
Sedemikian pentingnya salat sehingga Nabi SAW menegaskan bahwa “Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah salatnya. Apabila salatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila salatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi.
Jika ada yang kurang dari salat wajibnya, Allah SWT mengatakan: “Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan salat sunah? Maka salat sunah tersebut akan menyempurnakan salat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.” (HR Abu Daud, Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi).
Apakah salat sudah menjadi standar baik-buruknya kinerja hidup muslim? Bagaimana menjadikan salat sebagai ibadah bermakna: fungsional dan transformasional, dalam arti membuahkan kepribadian mulia, sehingga berfungsi membentengi dan menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar (QS al-’Ankabut [29]:45)?
Asumsinya, jika umat Islam sukses dalam melakukan salat hebat: salat khusyuk, bermakna, fungsional, dan transformasional, niscaya perilaku kemaksiatan, kemungkaran, kejahatan, korupsi, dan sebagainya dapat dieliminasi dan dijauhkan dari kehidupan muslim?
Analisis Isi
Salat hebat itu bukan sekadar ritual formal tanpa makna dan pesan substansial. Salat hebat menghendaki pelakunya memahami, menyelami, menghayati, dan mengaktualisasi isi dan substansi salat. Gerakan, bacaan, dan amalan dalam salat tidak sebatas dijalankan sesuai syarat dan rukunnya, tetapi juga harus diterjemahkan dan ditransformasikan dalam kehidupan.
Salat hebat itu menyalatkan hati, pikiran, gerakan, dan sistem kehidupan. Ritualitas salat diintegrasikan dengan aktivitas kehidupan sesuai dengan pesan moral salat itu sendiri. Salat hebat disyaratkan berwudu, penyucian diri (hati dan pikiran), pakaian, dan tempat salat, agar dapat menggapai pendekatan diri kepada Allah Yang Mahasuci.
Jika dianalisis, salat wajib lima waktu itu ternyata berisi 109 kali takbir (termasuk takbiratul ihram), 17 rakaat, 5 kali membaca doa iftitah (pembukaan), 17 membaca surah al-Fatihah dan surah atau ayat selain al-Fatihah, 17 rukuk berikut doanya, 17 i’tidal (berdiri tegak dan diam sejenak setelah rukuk, berikut doanya, 34 sujud berikut doanya, 9 kali tahiyat dan tasyahud, dan 10 kali salam.
Apabila muslim melaksanakan salat sunah rawatib, dhuha, tahajjud, tahiyatul masjid, dan lainnya, maka dapat dipastikan bahwa frekuensi gerakan dan bacaan tersebut akan semakin intens. Apa isi dan substansi yang dapat dimaknai dari gerakan dan bacaan salat? Analisis isi menunjukkan bahwa frekuensi terbesar dari gerakan dan bacaan salat adalah takbir. Esensi takbir adalah deklarasi dan peneguhan hati bahwa Allah itu Mahabesar.
Deklarasi ini mengandung makna bahwa hamba harus mengagungkan-Nya, dengan merendahkan hati dan pikirannya dalam beraudiensi dengan-Nya. Implikasinya, mushalli (pelaku salat) harus memiliki akhlak rendah hati, tidak sombong, tidak takabur, tidak arogan, dan tidak otoriter atau merasa paling berkuasa.
Gerakan dan bacaan (doa) sujud menempati posisi kedua terbanyak (34 kali). Hal ini menunjukkan bahwa integrasi takbir dan sujud, sebagai manifestasi perendahan hati di hadapan ilahi, dengan mencium “tanah” kehidupan, agar benar-benar menjadi hamba-Nya yang tunduk dan patuh kepada-Nya.
Sujud dalam salat itu membangun loyalitas dan keintiman spiritual supaya hamba tahu diri dan menunjukkan totalitas ketaatan kepada-Nya. Lebih-lebih dalam salah satu bacaan (doa) iftitah, hamba dilatih membulatkan tekad bahwa salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya karena mengharap rida Allah, Tuhan semesta raya.
Beberapa riset menunjukkan bahwa aneka gerakan dan bacaan dalam salat merupakan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani hamba. Gerakan takbir, berdiri tegak lurus, rukuk, i’tidal, sujud, duduk tahiyat, dan salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri me-rupakan representasi “olahraga dan olah jiwa” yang sehat dan bermaslahat bagi rotasi dan rutinitas kehidupan. Tanpa salat, manusia bisa jadi tidak sehat jasmani dan rohani. Bahkan salat hebat itu sejatinya membuat hati dan pikiran menjadi damai dan bahagia lahir dan batin.
Pesan Salat
Gerakan dan bacaan salat sarat dengan pesan moral. Dalam salat berjamaah terdapat pesan kuat bahwa jamaah salat harus bersatu karena harus mengingat Allah (dzikrullah) dengan menghadap pada kiblat yang sama, yaitu Kakbah (Baitullah). Salat jamaah juga mengandung pesan spiritual dan sosial berupa pentingnya kebersamaan, ketaatan kepada imam salat, kesucian hati dan pikiran, kedisiplinan, dan keseteraan. Siapa pun yang melaksanakan salat berjamaah sejatinya di hadapan Allah itu sama, tidak ada diskriminasi.
Selain merupakan tazkiyat an-nafs (penyucian diri), salat juga sarat dengan pesan pendidikan mental spiritual dan moral. Melalui salat, mushalli diedukasikan untuk menjadi hamba yang memiliki kecerdasan romantis dalam bentuk pendekatan diri dengan Allah.
Kecerdasan romantis merupakan kunci kedekatan dan komunikasi hamba dengan-Nya, sesuai dengan komitmen teologis yang dinyatakan dalam surah al-Fatihah : “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah/menyembah dan hanya kepada Engkau pulalah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus (benar).” (QS al-Fatihah [1]: 5-6).
Gerakan salat menunjukkan ritme, irama, dan dinamika kehidupan yang sangat proporsional dan fenomenal, karena terbukti semua gerakan itu menyehatkan dan membahagiakan. Gerakan rukuk, misalnya, dapat memberikan peregangan saraf dan otot-otot pada lutut, pinggul, punggung, dan leher, sehingga memberikan efek relaksasi.
Gerakan sujud membuat kerja jantung rileks dan ringan dalam memompakan darah ke semua jaringan dan aliran darah dalam tubuh. Oleh karena itu, Nabi SAW sangat merindukan gerakan sujud, dan membuat sujudnya lama, karena saat sujud itulah Nabi SAW merasakan ketenteraman dan kedamaian hati di hadapan Tuhan. Salat menjadi jembatan spiritual yang menghubungkan cinta hamba dengan Sang Khalik.
Bacaan dan doa dalam salat juga menutrisi hati dan pikiran mushalli dengan penguatan iman, peneguhan tauhid, pemantapan disiplin waktu, penguatan ketaatan, totalitas pengabdian, dan penyuburan harapan-harapan pascasalat. Semua doa dalam salat mencerminkan optimisme hamba untuk memperoleh ampunan (maghfirah), kasih sayang, rezeki, keberkahan, dan kemuliaan hidup. Walhasil, salat hebat idealnya menjadi standar dan tolok ukur kebaikan pribadi dan keluruhan akhlak hamba.
Di atas semua itu, ritualitas takbir, rukuk, i’tidal, sujud, dan duduk tahiyat dan tasyahud itu harus diakhiri dengan salam yang mengandung pesan perdamaian. Salam di akhir salat yang disimbolisasi dengan menoleh ke kanan dan ke kiri menunjukkan bahwa kesalehan personal dari salat harus ditindaklanjuti dengan kesalehan sosial dan moral. Mushalli yang hebat dan sukses pasti menjadi pelopor keselamatan, kedamaian, dan kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pemimpin dan pejabat yang sukses melaksanakan salat hebat idealnya tidak akan pernah korupsi, pembohongan publik dengan pencitraan palsu, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengkhianatan terhadap kepentingan nasionalisme dan rakyat.
Karena itu, laksanakan dan disiplinkan diri dengan salat hebat secara konsisten, agar kehidupan berubah menjadi lebih baik dan bermartabat. Salat hebat itu fungsional dan transformasional bagi mushalli dalam mewujudkan pribadi berakhlak mulia, melayani, menginspirasi, dan memajukan peradaban bangsa.(maf)
Sumber: sindonews.com
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
ISRA Mikraj Nabi Muhammad SAW dari Masjidilharam ke Masjidilaqsha dan dari Masjidilaqsha menuju Sidratil Muntaha membawa pesan utama berupa kewajiban salat lima waktu dalam sehari semalam. Dari segi cara penetapan syariat salat, yaitu dengan mengaudiensikan hamba-Nya, Muhammad SAW di Sidratil Muntaha, salat merupakan ibadah fisik, mental spiritual, dan moral yang luar biasa signifikan bagi kehidupan muslim.
Sedemikian pentingnya salat sehingga Nabi SAW menegaskan bahwa “Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah salatnya. Apabila salatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila salatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi.
Jika ada yang kurang dari salat wajibnya, Allah SWT mengatakan: “Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan salat sunah? Maka salat sunah tersebut akan menyempurnakan salat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.” (HR Abu Daud, Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi).
Apakah salat sudah menjadi standar baik-buruknya kinerja hidup muslim? Bagaimana menjadikan salat sebagai ibadah bermakna: fungsional dan transformasional, dalam arti membuahkan kepribadian mulia, sehingga berfungsi membentengi dan menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar (QS al-’Ankabut [29]:45)?
Asumsinya, jika umat Islam sukses dalam melakukan salat hebat: salat khusyuk, bermakna, fungsional, dan transformasional, niscaya perilaku kemaksiatan, kemungkaran, kejahatan, korupsi, dan sebagainya dapat dieliminasi dan dijauhkan dari kehidupan muslim?
Analisis Isi
Salat hebat itu bukan sekadar ritual formal tanpa makna dan pesan substansial. Salat hebat menghendaki pelakunya memahami, menyelami, menghayati, dan mengaktualisasi isi dan substansi salat. Gerakan, bacaan, dan amalan dalam salat tidak sebatas dijalankan sesuai syarat dan rukunnya, tetapi juga harus diterjemahkan dan ditransformasikan dalam kehidupan.
Salat hebat itu menyalatkan hati, pikiran, gerakan, dan sistem kehidupan. Ritualitas salat diintegrasikan dengan aktivitas kehidupan sesuai dengan pesan moral salat itu sendiri. Salat hebat disyaratkan berwudu, penyucian diri (hati dan pikiran), pakaian, dan tempat salat, agar dapat menggapai pendekatan diri kepada Allah Yang Mahasuci.
Jika dianalisis, salat wajib lima waktu itu ternyata berisi 109 kali takbir (termasuk takbiratul ihram), 17 rakaat, 5 kali membaca doa iftitah (pembukaan), 17 membaca surah al-Fatihah dan surah atau ayat selain al-Fatihah, 17 rukuk berikut doanya, 17 i’tidal (berdiri tegak dan diam sejenak setelah rukuk, berikut doanya, 34 sujud berikut doanya, 9 kali tahiyat dan tasyahud, dan 10 kali salam.
Apabila muslim melaksanakan salat sunah rawatib, dhuha, tahajjud, tahiyatul masjid, dan lainnya, maka dapat dipastikan bahwa frekuensi gerakan dan bacaan tersebut akan semakin intens. Apa isi dan substansi yang dapat dimaknai dari gerakan dan bacaan salat? Analisis isi menunjukkan bahwa frekuensi terbesar dari gerakan dan bacaan salat adalah takbir. Esensi takbir adalah deklarasi dan peneguhan hati bahwa Allah itu Mahabesar.
Deklarasi ini mengandung makna bahwa hamba harus mengagungkan-Nya, dengan merendahkan hati dan pikirannya dalam beraudiensi dengan-Nya. Implikasinya, mushalli (pelaku salat) harus memiliki akhlak rendah hati, tidak sombong, tidak takabur, tidak arogan, dan tidak otoriter atau merasa paling berkuasa.
Gerakan dan bacaan (doa) sujud menempati posisi kedua terbanyak (34 kali). Hal ini menunjukkan bahwa integrasi takbir dan sujud, sebagai manifestasi perendahan hati di hadapan ilahi, dengan mencium “tanah” kehidupan, agar benar-benar menjadi hamba-Nya yang tunduk dan patuh kepada-Nya.
Sujud dalam salat itu membangun loyalitas dan keintiman spiritual supaya hamba tahu diri dan menunjukkan totalitas ketaatan kepada-Nya. Lebih-lebih dalam salah satu bacaan (doa) iftitah, hamba dilatih membulatkan tekad bahwa salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya karena mengharap rida Allah, Tuhan semesta raya.
Beberapa riset menunjukkan bahwa aneka gerakan dan bacaan dalam salat merupakan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani hamba. Gerakan takbir, berdiri tegak lurus, rukuk, i’tidal, sujud, duduk tahiyat, dan salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri me-rupakan representasi “olahraga dan olah jiwa” yang sehat dan bermaslahat bagi rotasi dan rutinitas kehidupan. Tanpa salat, manusia bisa jadi tidak sehat jasmani dan rohani. Bahkan salat hebat itu sejatinya membuat hati dan pikiran menjadi damai dan bahagia lahir dan batin.
Pesan Salat
Gerakan dan bacaan salat sarat dengan pesan moral. Dalam salat berjamaah terdapat pesan kuat bahwa jamaah salat harus bersatu karena harus mengingat Allah (dzikrullah) dengan menghadap pada kiblat yang sama, yaitu Kakbah (Baitullah). Salat jamaah juga mengandung pesan spiritual dan sosial berupa pentingnya kebersamaan, ketaatan kepada imam salat, kesucian hati dan pikiran, kedisiplinan, dan keseteraan. Siapa pun yang melaksanakan salat berjamaah sejatinya di hadapan Allah itu sama, tidak ada diskriminasi.
Selain merupakan tazkiyat an-nafs (penyucian diri), salat juga sarat dengan pesan pendidikan mental spiritual dan moral. Melalui salat, mushalli diedukasikan untuk menjadi hamba yang memiliki kecerdasan romantis dalam bentuk pendekatan diri dengan Allah.
Kecerdasan romantis merupakan kunci kedekatan dan komunikasi hamba dengan-Nya, sesuai dengan komitmen teologis yang dinyatakan dalam surah al-Fatihah : “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah/menyembah dan hanya kepada Engkau pulalah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus (benar).” (QS al-Fatihah [1]: 5-6).
Gerakan salat menunjukkan ritme, irama, dan dinamika kehidupan yang sangat proporsional dan fenomenal, karena terbukti semua gerakan itu menyehatkan dan membahagiakan. Gerakan rukuk, misalnya, dapat memberikan peregangan saraf dan otot-otot pada lutut, pinggul, punggung, dan leher, sehingga memberikan efek relaksasi.
Gerakan sujud membuat kerja jantung rileks dan ringan dalam memompakan darah ke semua jaringan dan aliran darah dalam tubuh. Oleh karena itu, Nabi SAW sangat merindukan gerakan sujud, dan membuat sujudnya lama, karena saat sujud itulah Nabi SAW merasakan ketenteraman dan kedamaian hati di hadapan Tuhan. Salat menjadi jembatan spiritual yang menghubungkan cinta hamba dengan Sang Khalik.
Bacaan dan doa dalam salat juga menutrisi hati dan pikiran mushalli dengan penguatan iman, peneguhan tauhid, pemantapan disiplin waktu, penguatan ketaatan, totalitas pengabdian, dan penyuburan harapan-harapan pascasalat. Semua doa dalam salat mencerminkan optimisme hamba untuk memperoleh ampunan (maghfirah), kasih sayang, rezeki, keberkahan, dan kemuliaan hidup. Walhasil, salat hebat idealnya menjadi standar dan tolok ukur kebaikan pribadi dan keluruhan akhlak hamba.
Di atas semua itu, ritualitas takbir, rukuk, i’tidal, sujud, dan duduk tahiyat dan tasyahud itu harus diakhiri dengan salam yang mengandung pesan perdamaian. Salam di akhir salat yang disimbolisasi dengan menoleh ke kanan dan ke kiri menunjukkan bahwa kesalehan personal dari salat harus ditindaklanjuti dengan kesalehan sosial dan moral. Mushalli yang hebat dan sukses pasti menjadi pelopor keselamatan, kedamaian, dan kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pemimpin dan pejabat yang sukses melaksanakan salat hebat idealnya tidak akan pernah korupsi, pembohongan publik dengan pencitraan palsu, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengkhianatan terhadap kepentingan nasionalisme dan rakyat.
Karena itu, laksanakan dan disiplinkan diri dengan salat hebat secara konsisten, agar kehidupan berubah menjadi lebih baik dan bermartabat. Salat hebat itu fungsional dan transformasional bagi mushalli dalam mewujudkan pribadi berakhlak mulia, melayani, menginspirasi, dan memajukan peradaban bangsa.(maf)
Sumber: sindonews.com
Tags:
Opini