Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Kepada orang yang bersin saja, orang Amerika Serikat (AS) mengucapkan ”God bless you” (Tuhan memberkatimu). Saya sering mendengar ucapan ini dari Ibu Alexandra Crapels (salah seorang guru bahasa Inggris saya) ketika saya mengambil kursus bahasa Inggris di English Program for Internationals di University of South Carolina pada tahun 1986.
Ucapan ”God bless you” sering pula saya dengar ketika saya melanjutkan kursus bahasa Inggris di American Language Program di Columbia University, New York. Bahkan, saya ketika bersin pernah mendapat ucapan ”God bless you” dari teman sekelas kursus bahasa Inggris yang saat itu kami duduk bersebelahan di ruang kelas.
Poin apa yang ingin saya katakan dengan mengemukakan hal sepele ini? Tuhan disebut ketika orang bersin untuk menebar keberkahan kepada sesamanya. Ini berarti Tuhan merupakan acuan kepercayaan manusia. Visi, misi, dan orientasi hidup manusia berpusat pada Tuhan. Teosentrisme menjadi dasar pandangan hidup manusia.
Contoh sederhana di atas bisa dilengkapi dengan contoh yang lebih signifikan dalam lingkup kebangsaan dan kenegaraan. Sesuai keputusan kongres tahun 1956, AS memakai moto nasional yang berbunyi ”In God We Trust” (Kepada Tuhan Kami Percaya). Lagi, Tuhan sangat dimuliakan, diagungkan, dan disanjung pada level kebangsaan dan kenegaraan.
Moto nasional ini secara jelas terlihat pada mata uang AS. Mata uang pertama yang di atasnya tertera moto ”In God We Trust” adalah koin dua sen edisi 1864. Moto ini baru tertera di uang kertas AS pada tahun 1950-an. Perlu dicatat, moto ”In God We Trust” tidak secara resmi menggantikan moto AS yang berbunyi ”E Pluribus Unum” (Dari Banyak Menjadi Satu).
Sekularisme dan Rasionalisme
Sejak munculnya sekularisme dan rasionalisme, terjadi pergeseran pandangan hidup orang-orang AS dan Barat pada umumnya. Sekularisme membawa masyarakat Barat menjadi masyarakat sekuler yang memisahkan urusan keagamaan dari urusan keduniawian.
Nilai kebendaan dan keduniawian lebih dipentingkan daripada nilai spiritualitas keagamaan dan metafisis. Konsekuensinya, hedonisme (paham yang hanya mengejar kesenangan duniawi) menyeruak dalam kehidupan mereka. Keadaan ini menyeret masyarakat Barat berbudaya dan bermoral permisif, terutama di bidang seksualitas.
Free sex, sex expo, free love, erotisme, streap tease, nudist camp, pornografi sejenis majalah Playboy dan Penthouse, aborsi, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan sampai punya anak, dan pernikahan sesama jenis diterima dan dibolehkan. Ukuran dan nilai moral diserahkan kepada selera subjektif atau kelompok pelakunya, bukan lagi didasarkan pada aturan baku agama dan nilai moral absolut yang bersumber dari ajaran Tuhan.
Rasionalisme juga telah menyeret masyarakat Barat menempatkan rasio (akal) sebagai penentu tunggal kebenaran. Kebenaran yang berbasis kitab suci sekalipun kalau dinilai bertentangan dengan rasio ditolak oleh penganut rasionalisme. Bagi penganut rasionalisme, akal adalah penentu tunggal kebenaran dan ukuran baik-buruk perilaku moral manusia. Rasionalisme dan sekularisme berkembang berdampingan.
Penganut sekularisme dan rasionalisme tidak mengakui kebenaran abadi (eternal truth) dan adanya Tuhan. Persis seperti diungkap oleh Roderick C Maredith: ”There is no eternal truth, there can be no fixed standard by which we can judge any issue, no way of knowing what is right or wrong and certainly no God to look to for guidance.” (Tidak ada kebenaran abadi, tidak ada ukuran yang pasti untuk menilai sesuatu, tidak ada cara untuk mengetahui yang benar dan yang salah, dan tentunya tidak ada Tuhan yang bisa memimpin).
Jika sekelompok manusia sudah berprinsip ” tidak ada kebenaran abadi, tidak ada ukuran yang pasti untuk menilai sesuatu, tidak ada cara untuk mengetahui yang benar dan yang salah, dan tentunya tidak ada Tuhan yang bisa memimpin,” mereka menjadi kaum agnostik, nihilis, bahkan ateis. Kepercayaan kepada Tuhan (iman) sudah tidak ada dalam lubuk kesadaran batin mereka.
Sebenarnya, potensi kepercayaan kepada Tuhan ini sudah diberikan oleh Tuhan dalam setiap jiwa manusia sejak lahir sebagai fitrah (instinct). Dalam pertumbuhannya, manusia itu sendiri, orang tua, atau lingkungannya yang memengaruhi dan mengubah kesadaran ketuhanan yang ada dalam jiwanya itu sehingga menjadi layu, kering, dan mati.
Menyaksikan fenomena ini, Friedrich Nietzsche (1844-1900) berteriak lantang ”Der Gott ist tot” (Tuhan telah mati) di Barat. ”Kematian” Tuhan dalam lubuk batin kesadaran manusia telah membuat manusia menjadi penganut antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penentu segalanya, termasuk ukuran baik-buruk perilaku moral manusia.
Rasio dan Revelasi
Salah satu sifat Tuhan adalah Maha Kekal Abadi. Dialah Sang Pencipta alam semesta dan seisinya. Dialah Zat Yang Maha Gaib, Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Bijaksana, Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan sifat Maha lainnya.
Dialah yang berhak atas penyembahan dan pemujaan. Cara paling mudah untuk memercayai Tuhan adalah mengikuti ajaran rasul/nabi yang memang diperintahkan oleh Tuhan untuk memberi tahu manusia tentang keberadaan-Nya melalui wahyu-Nya. Bagi manusia beriman, wahyu (revelasi) ditempatkan di atas rasio. Rasio digunakan sebagai instrumen untuk memperkuat iman. Seorang bijak mengatakan, man arafa nafsahu arafa rabbahu (barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya).
Tuhan adalah Zat Yang Maha Gaib yang berada di luar alam fisik (metafisik) dan rasio tidak mampu memikirkan masalah-masalah metafisis. Rasio bersifat relatif dan nisbi dan hanya dapat mengetahui hal-hal yang tampak di alam fisik secara sangat terbatas.
Misalnya, manusia dengan akalnya tidak mampu mengetahui seluruh isi ruang angkasa. Kaum materialis, rasionalis, komunis, dan ateis telah ”gagal” dalam memahami dan mengenal Tuhan karena mereka menolak wahyu dan hanya menggunakan rasio sebagai instrumen untuk memahami eksistensi Tuhan.
Dari negeri yang kehidupan rakyatnya diresapi oleh nilai-nilai Pancasila dan agama, kita kumandangkan kesaksian: Tuhan Ada, Hidup, Tidak Mati, Tidak Akan Mati. Tuhan Kekal Abadi. Kullu syay in halikun illa wajhahu (semuanya pasti binasa kecuali Allah; QS Al-Qashash: 88).
(nag/sindonews.com)
Guru Besar Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Kepada orang yang bersin saja, orang Amerika Serikat (AS) mengucapkan ”God bless you” (Tuhan memberkatimu). Saya sering mendengar ucapan ini dari Ibu Alexandra Crapels (salah seorang guru bahasa Inggris saya) ketika saya mengambil kursus bahasa Inggris di English Program for Internationals di University of South Carolina pada tahun 1986.
Ucapan ”God bless you” sering pula saya dengar ketika saya melanjutkan kursus bahasa Inggris di American Language Program di Columbia University, New York. Bahkan, saya ketika bersin pernah mendapat ucapan ”God bless you” dari teman sekelas kursus bahasa Inggris yang saat itu kami duduk bersebelahan di ruang kelas.
Poin apa yang ingin saya katakan dengan mengemukakan hal sepele ini? Tuhan disebut ketika orang bersin untuk menebar keberkahan kepada sesamanya. Ini berarti Tuhan merupakan acuan kepercayaan manusia. Visi, misi, dan orientasi hidup manusia berpusat pada Tuhan. Teosentrisme menjadi dasar pandangan hidup manusia.
Contoh sederhana di atas bisa dilengkapi dengan contoh yang lebih signifikan dalam lingkup kebangsaan dan kenegaraan. Sesuai keputusan kongres tahun 1956, AS memakai moto nasional yang berbunyi ”In God We Trust” (Kepada Tuhan Kami Percaya). Lagi, Tuhan sangat dimuliakan, diagungkan, dan disanjung pada level kebangsaan dan kenegaraan.
Moto nasional ini secara jelas terlihat pada mata uang AS. Mata uang pertama yang di atasnya tertera moto ”In God We Trust” adalah koin dua sen edisi 1864. Moto ini baru tertera di uang kertas AS pada tahun 1950-an. Perlu dicatat, moto ”In God We Trust” tidak secara resmi menggantikan moto AS yang berbunyi ”E Pluribus Unum” (Dari Banyak Menjadi Satu).
Sekularisme dan Rasionalisme
Sejak munculnya sekularisme dan rasionalisme, terjadi pergeseran pandangan hidup orang-orang AS dan Barat pada umumnya. Sekularisme membawa masyarakat Barat menjadi masyarakat sekuler yang memisahkan urusan keagamaan dari urusan keduniawian.
Nilai kebendaan dan keduniawian lebih dipentingkan daripada nilai spiritualitas keagamaan dan metafisis. Konsekuensinya, hedonisme (paham yang hanya mengejar kesenangan duniawi) menyeruak dalam kehidupan mereka. Keadaan ini menyeret masyarakat Barat berbudaya dan bermoral permisif, terutama di bidang seksualitas.
Free sex, sex expo, free love, erotisme, streap tease, nudist camp, pornografi sejenis majalah Playboy dan Penthouse, aborsi, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan sampai punya anak, dan pernikahan sesama jenis diterima dan dibolehkan. Ukuran dan nilai moral diserahkan kepada selera subjektif atau kelompok pelakunya, bukan lagi didasarkan pada aturan baku agama dan nilai moral absolut yang bersumber dari ajaran Tuhan.
Rasionalisme juga telah menyeret masyarakat Barat menempatkan rasio (akal) sebagai penentu tunggal kebenaran. Kebenaran yang berbasis kitab suci sekalipun kalau dinilai bertentangan dengan rasio ditolak oleh penganut rasionalisme. Bagi penganut rasionalisme, akal adalah penentu tunggal kebenaran dan ukuran baik-buruk perilaku moral manusia. Rasionalisme dan sekularisme berkembang berdampingan.
Penganut sekularisme dan rasionalisme tidak mengakui kebenaran abadi (eternal truth) dan adanya Tuhan. Persis seperti diungkap oleh Roderick C Maredith: ”There is no eternal truth, there can be no fixed standard by which we can judge any issue, no way of knowing what is right or wrong and certainly no God to look to for guidance.” (Tidak ada kebenaran abadi, tidak ada ukuran yang pasti untuk menilai sesuatu, tidak ada cara untuk mengetahui yang benar dan yang salah, dan tentunya tidak ada Tuhan yang bisa memimpin).
Jika sekelompok manusia sudah berprinsip ” tidak ada kebenaran abadi, tidak ada ukuran yang pasti untuk menilai sesuatu, tidak ada cara untuk mengetahui yang benar dan yang salah, dan tentunya tidak ada Tuhan yang bisa memimpin,” mereka menjadi kaum agnostik, nihilis, bahkan ateis. Kepercayaan kepada Tuhan (iman) sudah tidak ada dalam lubuk kesadaran batin mereka.
Sebenarnya, potensi kepercayaan kepada Tuhan ini sudah diberikan oleh Tuhan dalam setiap jiwa manusia sejak lahir sebagai fitrah (instinct). Dalam pertumbuhannya, manusia itu sendiri, orang tua, atau lingkungannya yang memengaruhi dan mengubah kesadaran ketuhanan yang ada dalam jiwanya itu sehingga menjadi layu, kering, dan mati.
Menyaksikan fenomena ini, Friedrich Nietzsche (1844-1900) berteriak lantang ”Der Gott ist tot” (Tuhan telah mati) di Barat. ”Kematian” Tuhan dalam lubuk batin kesadaran manusia telah membuat manusia menjadi penganut antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penentu segalanya, termasuk ukuran baik-buruk perilaku moral manusia.
Rasio dan Revelasi
Salah satu sifat Tuhan adalah Maha Kekal Abadi. Dialah Sang Pencipta alam semesta dan seisinya. Dialah Zat Yang Maha Gaib, Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Bijaksana, Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan sifat Maha lainnya.
Dialah yang berhak atas penyembahan dan pemujaan. Cara paling mudah untuk memercayai Tuhan adalah mengikuti ajaran rasul/nabi yang memang diperintahkan oleh Tuhan untuk memberi tahu manusia tentang keberadaan-Nya melalui wahyu-Nya. Bagi manusia beriman, wahyu (revelasi) ditempatkan di atas rasio. Rasio digunakan sebagai instrumen untuk memperkuat iman. Seorang bijak mengatakan, man arafa nafsahu arafa rabbahu (barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya).
Tuhan adalah Zat Yang Maha Gaib yang berada di luar alam fisik (metafisik) dan rasio tidak mampu memikirkan masalah-masalah metafisis. Rasio bersifat relatif dan nisbi dan hanya dapat mengetahui hal-hal yang tampak di alam fisik secara sangat terbatas.
Misalnya, manusia dengan akalnya tidak mampu mengetahui seluruh isi ruang angkasa. Kaum materialis, rasionalis, komunis, dan ateis telah ”gagal” dalam memahami dan mengenal Tuhan karena mereka menolak wahyu dan hanya menggunakan rasio sebagai instrumen untuk memahami eksistensi Tuhan.
Dari negeri yang kehidupan rakyatnya diresapi oleh nilai-nilai Pancasila dan agama, kita kumandangkan kesaksian: Tuhan Ada, Hidup, Tidak Mati, Tidak Akan Mati. Tuhan Kekal Abadi. Kullu syay in halikun illa wajhahu (semuanya pasti binasa kecuali Allah; QS Al-Qashash: 88).
(nag/sindonews.com)
Tags:
Opini