Abdul Hakim: Menguatkan Marwah Pers Kita

Abdul Hakim
Jurnalis

Era teknologi informasi digital yang berkembang sangat cepat saat ini mem­buat tantangan media massa semakin dinamis. Begitu dinamisnya hingga menim­bul­kan kesan bahwa media sudah kehilangan roh jurnalismenya.

Peran vitalnya sebagai pe­ngon­trol dan kesetiaan pertamanya pada publik (first loyalty is to the citizens) sebagaimana di­baha­sa­­kan Bill Kovach-Tom Rosenstiel menjadi tergerus di tengah era banjir informasi yang sulit di­bendung. Yang terjadi, media baik itu elek­tro­nik maupun cetak mulai con­dong pada ranah bisnis demi bisa bertahan di tengah ke­sulitan ketimbang meng­ang­kat isu-isu yang sebe­nar­nya sangat di­butuh­kan khalayak. Indepen­densi media pun akhirnya men­j­adi samar.

Dalam era digital, media ke­nyataannya memang diha­dap­k­an pada pilihan tak mudah. Opsinya kadang terbatas dan pelik, mau dan mampu meng­ikuti ritme era digital atau siap-siap terlibas. Beberapa per­usa­ha­an media yang gagap ter­hadap perubahan ini nyatanya juga harus belepotan untuk bertahan. Bahkan dalam kurun dua tahun terakhir, tercatat su­dah lebih dari 30 media cetak, baik itu koran, majalah mau­pun tabloid Indonesia, harus tutup.

Teknologi digital yang mun­cul secara cepat dan melahirkan multi-platform memang mem­buat tantangan menjadi tak enteng untuk dihadapi. Meski­ begitu, seiring dengan seleksi alam, masih banyak media yang berhasil melewati tantangan ini. Beberapa media yang sa­dar akan per­ubahan ini ter­bukti dengan sigap melakukan trans­for­masi dan inovasi-inovasi brilian. Di sisi lain, era digital ini pun belum berhenti. Hal ini membuat pe­ngelola media massa dituntut terus dan terus berpikir keras menyiasatinya.

Yang menarik, di tengah era disrupsi informasi ini, muncul banyak sindikasi media digital. Pengusaha mulai menyadari di era mult -platform, mereka juga dituntut untuk memiliki ba­nyak saluran media untuk me­luaskan jangkauan bisnisnya seperti halnya sebaran iklan. Fenomena ini tak hanya muncul di negara-negara maju, tapi juga sudah menjalar ke Indonesia.

Munculnya fenomena ini disebabkan besarnya kekuatan para pemodal untuk memper­kuat lini-lini bisnisnya. Ada be­berapa konglomerat Indo­nesia yang membidik pasar digital sebagai basis pendapatan perusahaannya. Mereka mem­bangun perusahaan ventura yang menyuntik modalnya di sejumlah lini startup.  Ini seperti dilakukan Djarum Group, Lippo Group, dan Kelompok Emtek.  Fenomena disrupsi ini belum ditambah dengan munculnya perusahaan agregator-agregator media.

Banyaknya pengusaha yang menguasai beragam platform media digital ini di satu sisi se­buah keniscayaan bisnis. Namun di sisi lain ruang gerak redaksi disadari atau tidak pasti terpengaruh. Isu sentralisasi pemodal besar ini pun akhir-akhir ini terus mengemuka, ter­m­asuk pada workshop inter­nasional soal perkembangan teknologi informasi di Ixelles, Brussels, Belgia, pekan lalu. Media juga meng­hadapi tantangan be­rupa sikapnya yang terbelah. Namun Pilpres 2014 Effect  ini trennya tampak makin luntur meski keber­pihak­an terhadap salah satu pihak itu belum sepe­nuh­nya lepas.

Tan­tangan me­dia massa Indo­nesia yang ter­akhir adalah ma­rak­­nya konten palsu (hoax),  ujaran kebencian maupun ha­sut­an di media sosial (med­sos). Kehadiran medsos seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, YouTube,  dan BBM ini nyatanya tak bisa dibendung. Bah­kan ada kecen­derung­an, publik lebih percaya terhadap platform ini ketimbang isi dari media-media mainstream. Ini diperparah dengan maraknya kemunculan media online abal-abal yang di antaranya akibat terdistorsinya kepercayaan publik terhadap media mainstream.

Tantangan makin tak ringan lantaran traffic informasi di plat­form ini juga sangat ting­g­i. Yang patut diwas­padai, konten di platform baru ini juga sulit untuk disortir. Bahkan Menko Pol­hu­kam Wiranto belum lama ini mengungkapkan bah­wa se­tidaknya dalam sehari ada se­­kitar 2 juta se­rang­­an siber yang terjadi di Indo­nesia lewat med­­sos. Jum­lah ini sa­ngat besar dan ber­potensi mem­­beng­kak pa­da masa pilkada serentak 2018 ini.

Serangan siber ini jika tak di­anti­si­pasi dengan baik akan membahaya­kan ke­utuhan bangsa. Demi­kian juga Presiden Joko Widodo (Jokowi) begitu khawatir dengan perkem­bang­an medsos akhir-akhir ini. Di ajang World Press Freedom Day di Jakarta medio tahun lalu, Jokowi menilai hoax dan ujaran kebencian adalah tantangan besar bagi dunia informasi Indonesia saat ini.

Menyelamatkan Jurnalisme Kita
Pers Tanah Air saatnya harus mengevaluasi diri sudah sejauh mana berdiri di tengah pembelaan terhadap publik dan memberi kemanfaatan bagi bangsa. Dengan evaluasi ini, pers tidak larut pada jebakan digital (digital trap), tetapi tetap berada rel prinsip dan kaidah-kaidah dasar jurnalisme.

Pada era digital saat ini, para pengelola media Tanah Air juga dituntut bisa menyelaraskan tugas, antara wilayah k­eredak­si­an dengan bisnis. Pada pola selaras ini, yang terjadi adalah saling menguatkan, bukan mengalahkan terhadap salah satu pihak. Ruang redaksi hakikat­nya adalah ruang idealisme. Na­mun disadari, ruang redaksi tak akan bisa sendiri dan mandiri tanpa ditopang oleh kekuatan lain seperti bisnis. Adanya pemahaman bersama akan cita-cita besar sebuah perusahaan media ini bisa menjadi kunci mencapai keberhasilan.

Di tengah ekses-ekses negatif dari era informasi digital yang terus bermunculan saat ini, hal itu justru patut dijadikan momentum untuk menguat­kan kembali kewibawaan pers Indonesia. Media massa tidak akan kehilangan daya tariknya selama tetap mampu meng­hadirkan produk yang lebih ber­kualitas. Optimisme itu akan mun­cul karena dilandasi bebe­rapa hal berikut.

Pertama, para pengelola me­­dia massa memiliki ke­sa­dar­an bersama atas pen­ting­nya me­nyajikan informasi yang benar-benar dibutuhkan kha­layak, baik pembaca, pen­de­ngar atau penonton. Untuk mendap­at­kan isu yang lekat dan me­nyen­tuh, redaksi tak lagi bak menara gading, tetapi melebur demi me­nyerap kebutuhan ma­syara­kat yang terus ber­gerak dinamis.

Revolusi cara pemberitaan menjadi kunci yang diikuti de­ngan inovasi-inovasi aktif sisi bisnis atau iklan. Dengan cara ini marwah jurnalisme tetap ter­jaga tanpa terlacurkan. Tepat kiranya rumusan CEO The Dallas Morning News Jim Moroney seperti di­kata­kan Clayton M C­hristensen. Moroney menilai, yang di­butuh­kan publik dari perusahaan me­dia saat ini ada­lah pem­beritaan yang berbasis perspective, inter­pretation, context, and analysis (PICA) .

Kedua, era digital yang diiringi banjirnya informasi di medsos tak akan selamanya men­jadi kebutuhan hakiki khalayak. Indikasi terjadinya kesenjangan baru informasi mulai kentara. Ini mungkin juga selaras dengan prediksi George Brock dalam bukunya Out of Print  (2013) yang mengistilah­kan adanya new markets, new gaps.

Di tengah kondisi ini, kurva akses informasi di medsos akan anjlok seiring mulai jenuhnya publik dengan informasi yang palsu dan penuh hasutan ke­bencian. Perlahan medsos akan menemukan titik keseimbangannya. Publik akan merindukan informasi dari media massa yang lebih terverifikasi dan komprehensif.

Ketiga, untuk menciptakan konten media yang lebih ber­kualitas dibutuhkan penguatan kapasitas jajaran redaksi baik reporter, redaktur maupun level tertinggi. Diskusi, pelatih­an, dan riset data secara kontinu untuk pendalaman isu adalah hal yang mutlak. Pekerja media perlu terus memegang teguh nilai-nilai profesionalitas serta independensi.

Untuk menguat­kan peran ini dibutuhkan si­nergi dengan pihak lain seperti lembaga profesi, Dewan Pers, lembaga pendidikan, lembaga pemantau media, dan masya­ra­kat itu sendiri. Wahyu Wibowo (2009) menilai, jurnalis harus memiliki kepribadian yang mantap untuk menuju pro­fesio­nalitasnya. Kepribadian ini perlu ditopang dengan ke­mandirian moral, keberanian moral, dan kemampuan ber­pikir kritis tapi membumi.

Keempat, dalam bekerja, insan pers Indonesia harus di­landasi dalam bingkai per­satu­an bangsa. Tidak lantas atas ke­bebasan pers dan era digital, mereka secara liar mengesam­ping­kan prinsip dan kode etik jurnalistik. Tiga pedoman insan pers harus dipegang teguh, yakni profesionalitas, tradisi demokratis, dan kode etik jurnalistik.

Di tahun politik ini, Dewan Pers melalui Surat Edaran (SE) Nomor 01/SE-DP/2018 telah mengimbau jurnalis untuk ti­dak mencampuradukkan pro­fesi­nya. Jurnalis yang menjadi calon ke­pala daerah, legislator mau­pun tim sukses calon ke­pala daerah pada pilkada di­minta melepas baju profesinya sebagai upaya untuk men­jamin hak masyarakat men­dapatkan informasi yang berkualitas dan adil. Ikhtiar ini baik meski tak memiliki daya ikat kuat. Se­tidaknya sudah dipatuhi tiga wartawan di Sulawesi Utara pada pekan lalu yang rela me­lepas profesi jurnalisnya karena memilih berkiprah di partai.

Tema ”Pers sebagai Alat Pe­mer­satu Bangsa ”  pada Hari Pers Nasional (HPN) 2018 yang puncaknya digelar besok di Kota Padang, Sumatera Barat, cukup tepat untuk menjadi garis pe­tunjuk pers masa depan. HPN juga diharapkan tak sekadar agenda rutinitas atau seremonial semata, tetapi meng­hasilkan rumusan-rumusan kuat dan ber­manfaat bagi seluruh komponen bangsa Indonesia.
(thm/koransindo.com)
Previous Post Next Post