Hampir 89 tahun silam atau terhitung dari 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia disepakati sebagai bahasa pemersatu bangsa Indonesia. Bermula dari Kongres Pemuda II yang diikuti oleh perwakilan organisasi-organisasi kepemudaan di Indonesia seperti Jong Java, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Celebes, dan lain sebagainya maka terlahirlah sumpah pemuda Indonesia yang menjadi tonggak awal perjuangan pemuda kala itu.
Salah satu butir dalam Sumpah Pemuda merangkum komitmen pemuda kala itu untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa dalam berkomunikasi. “Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia”. Teks tersebut diikrarkan oleh para pemuda yang hadir. Di kongres itu juga diperdengarkan lagu Indonesia Raya ciptaan WR. Supratman untuk pertama kalinya.
Dalam perjalanannya bahasa Indonesia mengalami beberapa tahap penyempurnaan. Mulai dari Ejaan Van Opuijsen (1901), Ejaan Soewandi (1947), Ejaan Pembaharuan (1957), Ejaan Melindo (1972), Ejaan LBK, Ejaan Yang Disempurnakan atau EYD (1972), dan Ejaan Bahasa Indonesia (2015). Penyempurnaan terhadap bahasa Indonesia terus dilakukan untuk menghadapi perubahan zaman yang begitu pesat.
Era Media Sosial
Bahasa Indonesia saat ini tidak hanya digunakan untuk percakapan verbal dalam berkomunikasi secara langsung. Perkembangan teknologi komunikasi seolah menghilangkan sekat ruang dan waktu bagi manusia untuk berkomunikasi.
Sederhananya kita dapat berkomunikasi kapanpun dan dengan siapapun meskipun terpisah jarak ratusan ribu kilometer. Dengan kondisi seperti itu bahasa menjadi alat yang sangat penting dalam berkomunikasi.
Selain menghilangkan sekat ruang dan waktu, perkembangan teknologi juga berhasil menciptakan ruang publik di dunia maya. Teknologi media sosial menawarkan ruang publik yang bisa dieksploitasi oleh pengguna untuk berbagai kepentingan seperti berkomunikasi dengan teman, jual-beli barang, bahkan mencari informasi tentang pekerjaan. Kebebasan interaksi di ruang publik tersebut pada akhirnya berelasi dengan proses demokratisasi mengingat pengguna bebas menyampaikan apapun, baik mengkritik ataupun dikritik.
Beragam bentuk teknologi hadir untuk menciptakan ruang-ruang publik di dunia maya. Media sosial macam Facebook, Instagram, dan Twitter memiliki jumlah pengguna yang terbilang besar di Indonesia.
Dilansir dari hasil survei Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APII) pada 2016, Facebook memiliki 71.6 juta pengguna aktif, Instagram 19.9 juta pengguna aktif, dan Twitter 19.5 juta pengguna aktif setiap harinya. Jumlah penduduk Indonesia kini berkisar di angka 262 juta jiwa pengguna internet menurut APII menyentuh angka 132.7 juta, maka bisa diartikan setengah dari jumlah penduduk Indonesia menggunakan media sosial untuk berkomunikasi.
Problematika berbahasa
Kebebasan berinteraksi di dunia maya dan hilangnya batas-batas antar negara karena hempasan arus globalisasi sejatinya menghadirkan masalah dalam praktik bahasa Indonesia. Pengguna media sosial cenderung mengabaikan tata bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Pengaruh globalisasi memang kentara dalam situasi ini, khalayak bisa mempelajari cara berkomunikasi yang instan dan menciptakan simbol-simbol bahasa komunikasi baru yang ujug-ujug disepakati maknanya dan digunakan secara masif.
Banyak istilah-istilah baru yang lahir dalam ruang publik media sosial ini. Sebut saja kosa kata populer seperti gabut atau gaji buta yang bermakna sedang tidak ada kegiatan, sokap yang bermakna siapa, dan masih banyak istilah baru lain terlahir. Beberapa waktu terakhir bahkan tata bahasa yang lebih aneh muncul dalam rangkaian kata “Ada-ada saja kids jaman now”. Tentu contoh yang disebut belakangan begitu ambigu dan tidak memiliki titik pijakan yang jelas, apakah kalimat bahasa Inggris ataukah bahasa Indonesia.
Situasi menjadi semakin runyam ketika praktik kesalahan berbahasa di dunia maya juga merembet pada praktik berbahasa di kehidupan nyata. Kalimat “Ada-ada saja kids jaman now” tersebut direproduksi dari satu pengguna media sosial ke pengguna lainnya secara bebas sehingga pengetahuan tentang trend tersebut terus menyebar. Dalam pergaulan pun orang tidak segan mengungkapkan kalimat tersebut sebagai sisipan kalimat dalam perbincangan. Hal ini mengindikasikan adanya kesalahan berbahasa yang terus direproduksi.
Rasa Nasionalisme Berbahasa sebagai Solusi
Kebebasan yang ada dalam ruang publik media sosial ibarat dua mata koin, kedua sisinya berbeda tapi tak terpisah. Dalam satu sisi hal ini mendukung iklim demokrasi karena masyarakat bebas berpendapat di ruang publik. Dalam sisi lain penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu semakin tergerus dan malah dicampur-campur layaknya makanan gado-gado.
Solusi yang bisa kedepankan untuk situasi ini adalah penanaman rasa nasionalisme berbahasa kepada pengguna media sosial. Penanaman ini bisa dilakukan dengan berbagai media mulai dari masuknya materi nasionalisme berbahasa dalam kurikulum pendidikan, seminar bahasa atau literasi, juga bisa menggunakan metode-metode kampanye media sosial. Konten nasionalisme berbahasa ini nantinya lebih terfokus pada penanaman pentingnya berbahasa indonesia di segala kegiatan komunikasi baik di kehidupan nyata atau dunia maya.
Hasil akhir dari penanaman nasionalisme berbahasa ini adalah pengguna media sosial akan berkomunikasi di ruang publik dunia maya dengan lebih bijak sekaligus melakukan diplomasi bahasa Indonesia. Perlu diingat bahwa ruang publik dunia maya yang dimaksud di sini bisa dimasuki pengguna dari berbagai negara dan latar belakang. Dengan berbahasa Indonesia secara baik maka kita juga bisa memperkenalkan bahasa Indonesia yang sesungguhnya kepada dunia.
Bahasa Indonesia yang saat ini digunakan tidak hadir secara tiba-tiba. Bahasa ini lahir atas buah pemikiran pemuda-pemudi terbaik yang berjuang untuk mewujudkan persatuan Indonesia. Salah satu cara untuk meneruskan perjuangan tersebut adalah dengan mempraktikkan bahasa Indonesia yang baik dan benar di ruang publik yang ada, baik nyata dan maya. Mari tunjukkan nasionalisme berbahasa! (ded/ded/student.cnnindonesia.com)
Mohammad Fariansyah @fasyah12
Salah satu butir dalam Sumpah Pemuda merangkum komitmen pemuda kala itu untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa dalam berkomunikasi. “Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia”. Teks tersebut diikrarkan oleh para pemuda yang hadir. Di kongres itu juga diperdengarkan lagu Indonesia Raya ciptaan WR. Supratman untuk pertama kalinya.
Dalam perjalanannya bahasa Indonesia mengalami beberapa tahap penyempurnaan. Mulai dari Ejaan Van Opuijsen (1901), Ejaan Soewandi (1947), Ejaan Pembaharuan (1957), Ejaan Melindo (1972), Ejaan LBK, Ejaan Yang Disempurnakan atau EYD (1972), dan Ejaan Bahasa Indonesia (2015). Penyempurnaan terhadap bahasa Indonesia terus dilakukan untuk menghadapi perubahan zaman yang begitu pesat.
Ilustrasi (Foto: AFP PHOTO / MOHAMMED ABED |
Era Media Sosial
Bahasa Indonesia saat ini tidak hanya digunakan untuk percakapan verbal dalam berkomunikasi secara langsung. Perkembangan teknologi komunikasi seolah menghilangkan sekat ruang dan waktu bagi manusia untuk berkomunikasi.
Sederhananya kita dapat berkomunikasi kapanpun dan dengan siapapun meskipun terpisah jarak ratusan ribu kilometer. Dengan kondisi seperti itu bahasa menjadi alat yang sangat penting dalam berkomunikasi.
Selain menghilangkan sekat ruang dan waktu, perkembangan teknologi juga berhasil menciptakan ruang publik di dunia maya. Teknologi media sosial menawarkan ruang publik yang bisa dieksploitasi oleh pengguna untuk berbagai kepentingan seperti berkomunikasi dengan teman, jual-beli barang, bahkan mencari informasi tentang pekerjaan. Kebebasan interaksi di ruang publik tersebut pada akhirnya berelasi dengan proses demokratisasi mengingat pengguna bebas menyampaikan apapun, baik mengkritik ataupun dikritik.
Beragam bentuk teknologi hadir untuk menciptakan ruang-ruang publik di dunia maya. Media sosial macam Facebook, Instagram, dan Twitter memiliki jumlah pengguna yang terbilang besar di Indonesia.
Dilansir dari hasil survei Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APII) pada 2016, Facebook memiliki 71.6 juta pengguna aktif, Instagram 19.9 juta pengguna aktif, dan Twitter 19.5 juta pengguna aktif setiap harinya. Jumlah penduduk Indonesia kini berkisar di angka 262 juta jiwa pengguna internet menurut APII menyentuh angka 132.7 juta, maka bisa diartikan setengah dari jumlah penduduk Indonesia menggunakan media sosial untuk berkomunikasi.
Problematika berbahasa
Kebebasan berinteraksi di dunia maya dan hilangnya batas-batas antar negara karena hempasan arus globalisasi sejatinya menghadirkan masalah dalam praktik bahasa Indonesia. Pengguna media sosial cenderung mengabaikan tata bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Pengaruh globalisasi memang kentara dalam situasi ini, khalayak bisa mempelajari cara berkomunikasi yang instan dan menciptakan simbol-simbol bahasa komunikasi baru yang ujug-ujug disepakati maknanya dan digunakan secara masif.
Banyak istilah-istilah baru yang lahir dalam ruang publik media sosial ini. Sebut saja kosa kata populer seperti gabut atau gaji buta yang bermakna sedang tidak ada kegiatan, sokap yang bermakna siapa, dan masih banyak istilah baru lain terlahir. Beberapa waktu terakhir bahkan tata bahasa yang lebih aneh muncul dalam rangkaian kata “Ada-ada saja kids jaman now”. Tentu contoh yang disebut belakangan begitu ambigu dan tidak memiliki titik pijakan yang jelas, apakah kalimat bahasa Inggris ataukah bahasa Indonesia.
Situasi menjadi semakin runyam ketika praktik kesalahan berbahasa di dunia maya juga merembet pada praktik berbahasa di kehidupan nyata. Kalimat “Ada-ada saja kids jaman now” tersebut direproduksi dari satu pengguna media sosial ke pengguna lainnya secara bebas sehingga pengetahuan tentang trend tersebut terus menyebar. Dalam pergaulan pun orang tidak segan mengungkapkan kalimat tersebut sebagai sisipan kalimat dalam perbincangan. Hal ini mengindikasikan adanya kesalahan berbahasa yang terus direproduksi.
Rasa Nasionalisme Berbahasa sebagai Solusi
Kebebasan yang ada dalam ruang publik media sosial ibarat dua mata koin, kedua sisinya berbeda tapi tak terpisah. Dalam satu sisi hal ini mendukung iklim demokrasi karena masyarakat bebas berpendapat di ruang publik. Dalam sisi lain penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu semakin tergerus dan malah dicampur-campur layaknya makanan gado-gado.
Solusi yang bisa kedepankan untuk situasi ini adalah penanaman rasa nasionalisme berbahasa kepada pengguna media sosial. Penanaman ini bisa dilakukan dengan berbagai media mulai dari masuknya materi nasionalisme berbahasa dalam kurikulum pendidikan, seminar bahasa atau literasi, juga bisa menggunakan metode-metode kampanye media sosial. Konten nasionalisme berbahasa ini nantinya lebih terfokus pada penanaman pentingnya berbahasa indonesia di segala kegiatan komunikasi baik di kehidupan nyata atau dunia maya.
Hasil akhir dari penanaman nasionalisme berbahasa ini adalah pengguna media sosial akan berkomunikasi di ruang publik dunia maya dengan lebih bijak sekaligus melakukan diplomasi bahasa Indonesia. Perlu diingat bahwa ruang publik dunia maya yang dimaksud di sini bisa dimasuki pengguna dari berbagai negara dan latar belakang. Dengan berbahasa Indonesia secara baik maka kita juga bisa memperkenalkan bahasa Indonesia yang sesungguhnya kepada dunia.
Bahasa Indonesia yang saat ini digunakan tidak hadir secara tiba-tiba. Bahasa ini lahir atas buah pemikiran pemuda-pemudi terbaik yang berjuang untuk mewujudkan persatuan Indonesia. Salah satu cara untuk meneruskan perjuangan tersebut adalah dengan mempraktikkan bahasa Indonesia yang baik dan benar di ruang publik yang ada, baik nyata dan maya. Mari tunjukkan nasionalisme berbahasa! (ded/ded/student.cnnindonesia.com)
Mohammad Fariansyah @fasyah12
Tags:
Edukasi