Pemimpin "de Jure" Atau "de Facto"

Bayangkan ketika pada masa mahasiswa,  selama beberapa semester, Anda berhadapan dengan seorang dosen yang dikenal luas berperangai arogan, tidak suka dibantah, dan sering memperlakukan mahasiswa dengan sewenang-wenang tergantung kondisi emosinya. Beruntung  Anda tidak pernah berurusan dengan arogansinya karena nilai kelulusan Anda selalu baik, bahkan di atas rata-rata.
Menginspirasi (foto: istimewa)
Tanpa diduga, pada hari wisuda ia  memanggil  Anda dan  menawarkan pekerjaan di perusahaan yang ia pimpin.  Tentu bisa  diterka apa yang Anda pikirkan:  Tak ada harapan  bagi  kemajuan di bawah pemimpin seperti beliau. Karakternya menunjukkan bahwa beliau menilai dirinya lebih penting  ketimbang orang yang dipimpinnya.  Mana mungkin ia menunjukkan perangai yang berbeda terhadap Anda sebagai mahasiswa dengan kelak ketika Anda menjadi anak buahnya? Lebih baik Anda menunggu kesempatan untuk bekerja di perusahaan yang jelas memiliki rekam jejak memajukan karyawannya.

Kepemimpinan bukanlah sekadar memiliki kewenangan untuk memberikan instruksi atau tugas, melainkan jauh lebih penting adalah memampukan orang lain.  Pemimpin yang lebih mementingkan dirinya ketimbang mengembangkan mereka yang bekerja bersama dia,  tidak akan bertahan sebagai pimpinan.
Kepemimpinan bukanlah masalah jabatan, melainkan masalah karakter.  Jabatan hanyalah posisi yang secara formal memberikan kewenangan seseorang menjadi pemimpin, atau kita sebut juga sebagai pemimpin de jure.  Dengan jabatan, maka seseorang memiliki kekuasaan, power.

Namun, kekuasaan karena jabatan itu tidak akan serta-merta membuat orang menjadi pemimpin. Karena pemimpin yang sesungguhnya akan mampu menggerakkan orang untuk bersedia bekerja sesuai arahan dan inspirasi pemimpinnya untuk menghasilkan yang maksimal bagi kepentingan kelompok atau perusahaan.

Pemimpin yang baik  akan membangun  hubungan individual yang baik dengan bawahannya. Ada rasa saling percaya. Bukan kekuasaan yang berbicara di sini, melainkan wibawa, kharisma. Bawahan rela menjalankan apa yang diharapkan karena visi pemimpin telah dihayati dan diterimanya sebagai inspirasi yang menyemangati. Itulah pemimpin de facto, pemimpin yang sesungguhnya. Jelaslah, kepemimpinan yang baik berasal dari karakter yang baik.

Berikut kutipan dari kata-kata Lao Tzu, ahli filsafat Cina pada abad  + 4 SM, penulis buku Tao Te Ching yang hingga kini masih digunakan oleh para penganut  Taoisme di Cina: ”Pemimpin sejati adalah mereka yang kehadirannya nyaris tak terdengar dan tak terlihat, dan saat kesuksesan dicapai, orang-orangnya akan berkata, ’Kami telah berhasil.’”

Nama pemimpin mungkin tak akan disebut, dan tak penting untuk dikedepankan, namun visi dan inspirasinya telah merasuk ke dalam jiwa para bawahannya sedemikian rupa sehingga seolah telah menjadi bagian dari jiwa mereka. Bagi pemimpin seperti ini, tak ada pengorbanan yang terlalu besar untuk diberikan karena akan dilakukan dengan senang hati.

Pemimpin yang efektif akan memimpin dengan keteladanan, dengan kejujuran. Sebagai pemimpin lebih penting untuk peduli pada karakter daripada reputasi. Reputasi adalah apa yang orang pikir tentang kita, sedangkan karakter adalah kita yang sebenarnya.  Tidak mungkin menjadi pemimpin yang baik tanpa karakter yang baik.

Pemimpin yang baik akan memahami bahwa kepemimpinan berpusat pada orang lain yang berada dalam ruang lingkupnya, dan bukan berpusat pada  kehormatan bagi  diri sendiri, atau kesuksesan diri sendiri. Kepemimpinan adalah bagaimana mengangkat orang lain ke taraf yang lebih tinggi.


Kemampuan mungkin akan membawa seorang pada posisi kepemimpinan menjadi pemimpin de jure. Namun, karakterlah yang akan membuatnya bertahan,  bukan hanya sebagai pemimpin de jure, melainkan  sebagai pemimpin de facto.

Link:http://www.satuharapan.com/read-detail/read/pemimpin-de-jure-atau-de-facto

Post a Comment

Previous Post Next Post