Ekspresi yang menyangkut hal sensitif dan kritis, kerap dipandang sebagai tindak pidana yang harus dicegah atau dihukum. Apalagi jika aparat menghadapi tekanan dari massa garis keras.
Pengepungan dan penyerangan yang dilakukan sekelompok orang ke kantor LBH Jakarta beberapa hari lalu memunculkan pertanyaan: masihkah negara menjamin kebebasan berekspresi?
Sidang Tahunan MPR pada Agustus 2000 telah mengesahkan perubahan kedua UUD 1945. Salah satunya, penambahan pasal 28E yang menjamin hak asasi manusia.
"Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani." Pasal itu juga memastikan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Substansi dari jaminan konstitusi itu adalah tidak seorang pun, termasuk negara, berhak melarang orang lain menyampaikan pendapat sesuai dengan hak-hak universal dan prinsip demokrasi yang dianut negara ini.
Ini lantas dijabarkan melalui Undang-undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Namun selama 17 tahun, pelaksanaan Undang-undang itu justru melenceng dari semangat kebebasan berekspresi.
Aparat kepolisian justru kerap menggunakan undang-undang itu untuk menekan kebebasan berekspresi. Ekspresi yang menyangkut hal sensitif dan kritis, kerap dipandang sebagai tindak pidana yang harus dicegah atau dihukum.
Apalagi jika aparat menghadapi tekanan dari massa garis keras. Aparat kerap menggunakan dalil tanpa izin, atau karena mendapat penolakan dari warga, atau karena ada ancaman gerakan massa lain.
Alhasil, dalam beberapa tahun terakhir kasus pembatasan kebebasan berekspresi terus terjadi.
Pembubaran diskusi, pelarangan seminar, pemutaran film, bedah buku, dan lain-lain bertambah banyak. Belum lagi adanya ketentuan lain seperti Undang-undang ITE yang kerap dijadikan senjata untuk membungkam hak berekspresi.
Tidak heran, dalam lima tahun terakhir berbagai lembaga pegiat HAM mencatat penurunan indeks kebebasan berekspresi di Indonesia. Aparat kepolisian, TNI, maupun aparatur sipil yang merepresentasikan negara, justru jadi ancaman kebebasan berekspresi. Mereka telah mengebiri konstitusi.
link: http://kbr.id/09-2017/masihkah_negara_menjamin_kebebasan_berekspresi_/92470.html
Sekelompok massa mengepung dan berorasi di depan kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. (Foto: Antara/Muhammad Adimaja) |
Pengepungan dan penyerangan yang dilakukan sekelompok orang ke kantor LBH Jakarta beberapa hari lalu memunculkan pertanyaan: masihkah negara menjamin kebebasan berekspresi?
Sidang Tahunan MPR pada Agustus 2000 telah mengesahkan perubahan kedua UUD 1945. Salah satunya, penambahan pasal 28E yang menjamin hak asasi manusia.
"Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani." Pasal itu juga memastikan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Substansi dari jaminan konstitusi itu adalah tidak seorang pun, termasuk negara, berhak melarang orang lain menyampaikan pendapat sesuai dengan hak-hak universal dan prinsip demokrasi yang dianut negara ini.
Ini lantas dijabarkan melalui Undang-undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Namun selama 17 tahun, pelaksanaan Undang-undang itu justru melenceng dari semangat kebebasan berekspresi.
Aparat kepolisian justru kerap menggunakan undang-undang itu untuk menekan kebebasan berekspresi. Ekspresi yang menyangkut hal sensitif dan kritis, kerap dipandang sebagai tindak pidana yang harus dicegah atau dihukum.
Apalagi jika aparat menghadapi tekanan dari massa garis keras. Aparat kerap menggunakan dalil tanpa izin, atau karena mendapat penolakan dari warga, atau karena ada ancaman gerakan massa lain.
Alhasil, dalam beberapa tahun terakhir kasus pembatasan kebebasan berekspresi terus terjadi.
Pembubaran diskusi, pelarangan seminar, pemutaran film, bedah buku, dan lain-lain bertambah banyak. Belum lagi adanya ketentuan lain seperti Undang-undang ITE yang kerap dijadikan senjata untuk membungkam hak berekspresi.
Tidak heran, dalam lima tahun terakhir berbagai lembaga pegiat HAM mencatat penurunan indeks kebebasan berekspresi di Indonesia. Aparat kepolisian, TNI, maupun aparatur sipil yang merepresentasikan negara, justru jadi ancaman kebebasan berekspresi. Mereka telah mengebiri konstitusi.
link: http://kbr.id/09-2017/masihkah_negara_menjamin_kebebasan_berekspresi_/92470.html
Tags:
Opini