BOLEH dikatakan mengejutkan, boleh juga dikatakan, itu sudah diantisipasi sebelumnya. Itu tidak mengejutkan sama sekali. Tetap saja konsekwensinya mengembirakan dan akibatnya positif bagi umat. Berita baik tentu saja.
Al Makin, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Foto/Dok. Pribadi |
Ketua Umum Muhammadiyah Prof. Dr. KH. Haedar Nashir dan rombongan mengunjungi kantor PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) pada tanggal 25 Mei 2023. Dan tentu saja disambut Ketua Umum PBNU Dr. KH Cholil Yahya Staquf dan teamnya.
Kunjungan ini tidak mengejutkan karena tahun lalu, karena Gus Yahya sudah bersilaturahmi ke kantor Muhammadiyah tahun lalu. Beliau sudah sering sampaikan secara eksplisit dalam bebera kesempatan bahwa NU dan Muhammadiyah harus membangun kerjasama sinergis.
Bahkan dalam salah satu posting Instagramnya dengan bercanda mengatakan saat lebaran Idulfitri yang berbeda bulan lalu, NU dan Muhammadiyah bisa berbeda dalam merayakan lebaran Idulfitri tahun ini, tetapi keduanya sepakat tentang hari Kartini, tetap hari Jumat, tanggal 21 April. Ini bukan bercanda biasa, ini adalah sindiran simbolik.
Ya sudahlah keputusan bisa berbeda, tetapi keduanya tidak bisa saling meningkari keputusan masing-masing. Berbeda tetap saling menghormati, persaudaraan tetap ada dan terjalin.
Ketua Umum Muhammadiyah yang penampilannya kalem dan tenang dalam setiap pidatonya juga sering mengungkapkan hal yang senada. Meskipun kritis pada tindakan-tindakan umat dan yang memanfaatkan identitas umat, terutama dalam ranah politik, beliau tetap yakin ada jalan keluar bersama-sama.
Pada acara Syawalan di UIN Sunan Kalijaga misalnya, pada tanggal 8 Mei 2023, beliau menyampaikan nada optimismenya pada usaha-usaha yang dilakukan kampus UIN Sunan Kalijaga dengan mengadakan syawalan antar umat. Syawalan di UIN Sunan Kalijaga dalam tiga tahun terakhir selalu mengundang pemimpin dari agama-agama yang berbeda: Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu dan iman lain. Ini merupakan usaha yang baik dan harus selalu konsisten.
Ketua Umum PBNU dalam kesempatan terakhir di AICIS (Annual Conference on Islamic Studies) Kementerian Agama di Surabaya menegaskan auto-kritik yang sangat mendasar dan berani. Dalam pidatonya dalam bahasa Inggris, tanggal 3 Mei 2023, mengakui bahwa Islam, atau umat Islam tepatnya harus jujur bahwa praktik keagamaan kita memang mempunyai masalah.
Islam bermasalah? Bukan. Maksudnya, praktik keislaman, yaitu bagaimana kita memahami Islam dan menjalankannya bisa bermasalah. Jika salah kutip, bisa menjadi viral.
Untungnya pidatonya dalam bahasa Inggris, jadi mungkin hanya sedikit yang perhatian. Penulis duduk di kursi terdepan dan betul-betul mendengarkan dengan seksama, sebagaimana pidato-pidatonya yang lain dalam kesempatan yang lain pula.
Masalah keislaman tadi ditimbulkan dari segi pemahaman teologi (kalam), atau dalam bahasa Gus Yahya adalah fikih (yaitu pemahaman agama yang mendalam). Fikih peradaban, istilah Gus Yahya, yang sering dibicarakan di berbagai kesempatan, baik forum pesantren maupun kampus, menegaskan pentingnya mengolah kembali fiqh konvensional.
Fikih bukan hanya bermakna ibadah ritual, tetapi bagaimana kita memahami gerak dan langkah manusia dalam membangun peradaban. Peradaban yang saling memahami, saling mengakui keberadaan satu sama lain, dan saling merangkul.
Praktik saling mengunjungi pemimpin umat pada kantor pemimpin umat yang lain tentu secara langsung telah menepis dan menghalangi penggunaan identitas agama dalam ranah politik secara berlebihan, atau lebih sering disebut politik identitas. Kita tidak bisa hanya berceramah atau menulis tentang bahayanya politik identitas. Itu tidak cukup.
Kita harus bertindak dan menunjukkan contoh apa yang menjadi lawan politik identitas. Yaitu, kita harus melakukan tindakan yang berbeda dengan politik identitas.
Identitas yang berbeda bukanlah penghalang persaudaraan dan persahabatan. Jelas, NU dan Muhammadiyah mempunyai sistem tersendiri, kiprah yang unik dan berbeda di tengah umat, sumbangan yang khas dari masing-masing organisasi, potensi yang tidak sama dalam menyumbangkan pembangunan bangsa, keduanya tidak perlu dibenturkan. Justru keduanya terus bersinergi.
Seperti yang dilakukan oleh ketua umum kedua organisasi ini. Umat tidak selalu membutuhkan ceramah dan nasehat. Umat ingin melihat contoh dan teladan. Keduanya adalah teladan terbaik yang kita punya. Keduanya berjumpa dan saling mengunjungi. Betapa anggunnya itu.
Politik identitas dilakukan dengan enteng dan murah untuk tujuan politik. Akibatnya adalah naiknya tensi sosial, yang bisa mengakibatkan panasnya suasana. Saling mencurigai, saling menuduh, dan saling menyerang baik dengan cara luring dan daring.
Dalam media sosial dan perbincangan darat, kita sudah kenyang dengan saling berguncing satu sama lain. Membicarakan aib dan kelemahan golongan lain memang jauh lebih mudah daripada menghitung dan menimbang kesalahan golongan sendiri.
Gus Yahya secara terang-terangan mengatakan bahwa kita bermasalah. Keislaman kita bermasalah. Kita sering menajamkan identitas kita. Siapa saya dan siapa Anda, siapa kami dan siapa kalian, asal Anda dari mana, kelompok kalian mana? Semua itu adalah ungkapan sederhana mempertanyakan identitas teman sejawat yang diposisikan menjadi lawan.
Indonesia membutuhkan pendingin. Kedua ketua umum sudah memberi tauladan itu. Kunjungan dibalas dengan kunjungan. Senyuman dibalas dengan senyuman. Kata dibalas dengan kata. Belajar satu sama lain, dan menegaskan masing-masing sumbangannya. Tidak menegaskan siapa dirinya dan sumbangan yang diberikan. Kita perlu mengakui sumbangan kelompok lain.
Pertemuan yang kedua kalinya secara resmi di tempat yang berbeda menegaskan empat hal yang mulia. Pertama, kerjasama antarorganisasi. Kedua, kepemimpinan moral tahun politik 2024.Ketiga, kerjasama dalam hal ekonomi umat. Keempat, kepemimpinan moral untuk umat.
Keempat poin itu hanya bisa dilakukan dengan contoh nyata. Bukan sekadar tausiyah dan ceramah. Kita semua optimistis kedua pemimpin dan timnya masing-masing sudah melakukan langkah nyata, dan kita sebagai umat harus menyambut dengan suka cita dan mendukungnya.(poe)
Al Makin, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1109187/18/tepis-politik-identitas-1685073903?showpage=all
Tags:
Opini