Ketika peradaban manusia berganti, Negara Jepang terus berbenah diri. Tokyo, adalah satu tempat, dimana anda bisa menangkap perasaan generasi baru Negeri Matahari Terbit ini. Bagi pelancong yang sudah pernah berkunjung ke negara Jepang, tentu dia akan kembali memutar ulang ingatannya tentang Negeri Berbunga Sakura tersebut.
Apalagi, pelancong itu pernah hadir ditengah musim semi, pastinya dia akan disuguhi banyaknya bunga sakura bermekaran memenuhi setiap ranting pepohonan, sedangkan bagi orang belum menancapkan kaki di jepang, ia cukup mengenali melalui gunung Fujiama, pemain sumo, perempuan berkimono yang tersenyum di tengah ladang, tambur besar dengan lelaki penabuhnya yang berikat kepala putih dihiasi bulatan merah, semacam bendera Dai Nippon. Lalu topeng-topeng di kuil Shinto, gambar-gambar ini sering tercetak pada sebuah buletin kebudayaan, menyajikan Jepang yang eksotis, mistis, sekaligus modern.
Selain itu, anda juga dapat mengetahui jepang lewat film-film dahsyat seperti Akira Kurosawa, novel-novel Yukio Mishima, kemudian bercampur sedikit dengan imaji para gadis Jepang di berbagai film dewasa kontemporer yang memenuhi negeri tersebut.
Disamping itu, anda juga bisa menyimak penduduk jepang di berbagai tayangan YouTube seperti, orang-orang Jepang berjalan tertumpah ruah diatas ruas jalan, para perempuan bergerak gesit. Rambut mereka kerap disemir coklat, kuning, putih abu-abu, biru, dan separuh merah. Sebuah alternatif yang manis di tengah kepungan kesibukan. Meskipun, Topan Hagibis sering melanda Tokyo.
Seturut topan berlalu, orang keluar berhamburan, Mereka mirip kawanan semut yang keluar dari sarang, hal itu dapat anda dilihat pada Stasiun Shinagawa, mereka bergegas menuruni tangga, dan berjalan meniti lorong stasiun, dan bayangkanlah dari pintu lobang sarang itu keluar ribuan manusia lalu mereka tumpah di sebuah aula besar stasiun. Dengan berbagai kepentingan, dan mungkin harapan. Entah hendak pulang, atau melanjutkan perjalanan ke stasiun lain. Sebuah keramaian khas megapolitan. Manusia melenyap dalam arus massa.
Begitupun di setiap perempatan lampu merah, manusia berjejal, tentunya, mereka adalah para pejalan kaki yang tangguh, menunggu lampu hijau untuk bersiap melakukan penyebarangan. Di tengah perempatan jalan, anda akan disuguhkan dengan orang yang berlalu lalang, hampir sebagian besar wajah-wajah mereka tampak begitu telanjang, lantas itu kita pun tergiang, teringat cerita pendek Haruki Murakami “On Seeing the 100% Perfect Girl One Beautiful April Morning”, sang tokoh tak sengaja berpapasan dengan seorang perempuan yang disangkanya sebagai jodoh yang tepat buatnya.
Perjumpaan yang sangat singkat, si tokoh melintas dan dia beradu pandang dengan seorang perempuan di sebuah perempatan. Dia dari arah barat, dan si gadis dari arah timur. Dia merasa jantungnya berdebar persis saat mereka beradu pandang, meski perempuan itu tak begitu cantik dan dia juga tak begitu tampan, tapi dia merasa gadis itu seratus persen cocok untuknya. Tapi dia tak menyapanya, meskipun ingin, akhirnya lewat begitu saja. Selebihnya hanya angan-angan yang tak pernah sampai.
Cerpen itu adalah potret jitu generasi baru Jepang yang pemalu, dan banyak yang menunda kawin karena teserap oleh derap megapolitan yang kapitalistik. Hidup terasa amat menekan. Apartemen mahal, juga pajak dan ongkos hidup yang terus naik. Kehidupan penuh persaingan, dan itu menyisakan aneka masalah neurotik tentang kompleksitas hubungan percintaan laki dan perempuan, terutama jika mereka hendak menikah. Lalu perasaan kesepian menyergap banyak orang. (RS)
Link: JP
Apalagi, pelancong itu pernah hadir ditengah musim semi, pastinya dia akan disuguhi banyaknya bunga sakura bermekaran memenuhi setiap ranting pepohonan, sedangkan bagi orang belum menancapkan kaki di jepang, ia cukup mengenali melalui gunung Fujiama, pemain sumo, perempuan berkimono yang tersenyum di tengah ladang, tambur besar dengan lelaki penabuhnya yang berikat kepala putih dihiasi bulatan merah, semacam bendera Dai Nippon. Lalu topeng-topeng di kuil Shinto, gambar-gambar ini sering tercetak pada sebuah buletin kebudayaan, menyajikan Jepang yang eksotis, mistis, sekaligus modern.
Gadis Jepang Memakai Busana Kimono |
Selain itu, anda juga dapat mengetahui jepang lewat film-film dahsyat seperti Akira Kurosawa, novel-novel Yukio Mishima, kemudian bercampur sedikit dengan imaji para gadis Jepang di berbagai film dewasa kontemporer yang memenuhi negeri tersebut.
Disamping itu, anda juga bisa menyimak penduduk jepang di berbagai tayangan YouTube seperti, orang-orang Jepang berjalan tertumpah ruah diatas ruas jalan, para perempuan bergerak gesit. Rambut mereka kerap disemir coklat, kuning, putih abu-abu, biru, dan separuh merah. Sebuah alternatif yang manis di tengah kepungan kesibukan. Meskipun, Topan Hagibis sering melanda Tokyo.
Seturut topan berlalu, orang keluar berhamburan, Mereka mirip kawanan semut yang keluar dari sarang, hal itu dapat anda dilihat pada Stasiun Shinagawa, mereka bergegas menuruni tangga, dan berjalan meniti lorong stasiun, dan bayangkanlah dari pintu lobang sarang itu keluar ribuan manusia lalu mereka tumpah di sebuah aula besar stasiun. Dengan berbagai kepentingan, dan mungkin harapan. Entah hendak pulang, atau melanjutkan perjalanan ke stasiun lain. Sebuah keramaian khas megapolitan. Manusia melenyap dalam arus massa.
Begitupun di setiap perempatan lampu merah, manusia berjejal, tentunya, mereka adalah para pejalan kaki yang tangguh, menunggu lampu hijau untuk bersiap melakukan penyebarangan. Di tengah perempatan jalan, anda akan disuguhkan dengan orang yang berlalu lalang, hampir sebagian besar wajah-wajah mereka tampak begitu telanjang, lantas itu kita pun tergiang, teringat cerita pendek Haruki Murakami “On Seeing the 100% Perfect Girl One Beautiful April Morning”, sang tokoh tak sengaja berpapasan dengan seorang perempuan yang disangkanya sebagai jodoh yang tepat buatnya.
Perjumpaan yang sangat singkat, si tokoh melintas dan dia beradu pandang dengan seorang perempuan di sebuah perempatan. Dia dari arah barat, dan si gadis dari arah timur. Dia merasa jantungnya berdebar persis saat mereka beradu pandang, meski perempuan itu tak begitu cantik dan dia juga tak begitu tampan, tapi dia merasa gadis itu seratus persen cocok untuknya. Tapi dia tak menyapanya, meskipun ingin, akhirnya lewat begitu saja. Selebihnya hanya angan-angan yang tak pernah sampai.
Cerpen itu adalah potret jitu generasi baru Jepang yang pemalu, dan banyak yang menunda kawin karena teserap oleh derap megapolitan yang kapitalistik. Hidup terasa amat menekan. Apartemen mahal, juga pajak dan ongkos hidup yang terus naik. Kehidupan penuh persaingan, dan itu menyisakan aneka masalah neurotik tentang kompleksitas hubungan percintaan laki dan perempuan, terutama jika mereka hendak menikah. Lalu perasaan kesepian menyergap banyak orang. (RS)
Link: JP
Tags:
Opini