Amy Searight: Apa Arti Pemilu Indonesia dan Thailand Bagi Demokrasi di Asia Tenggara?

Apa Arti Pemilu Indonesia dan Thailand Bagi Demokrasi di Asia Tenggara?

Indonesia dan Thailand sempat dianggap sebagai pilar demokrasi di Asia Tenggara, dengan Indonesia bergerak maju seandainya Thailand melangkah mundur. Pemilu di Indonesia berjalan lancar dan damai, sedangkan pemilu Thailand melibatkan kecurangan dari pihak pro-junta militer. Terlepas dari tren yang memprihatinkan ini, masa depan demokrasi Indonesia terlihat lebih cerah daripada Thailand saat ini.

Oleh: Amy Searight (Center for Strategic and International Studies)

Dalam beberapa minggu terakhir, Indonesia dan Thailand mengadakan pemilu yang tidak hanya menentukan siapa yang akan memerintah di pemerintahan Indonesia dan Thailand, tetapi juga membentuk lintasan masa depan demokrasi dari masing-masing negara dan menandakan tren demokrasi di Asia Tenggara.

Indonesia dan Thailand, dua ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan dua pilar diplomasi dan kerjasama regional, telah bergerak ke arah yang berlawanan dalam beberapa dekade terakhir pada spektrum demokrasi. Thailand adalah salah satu negara pertama yang mengadopsi demokrasi di Asia Tenggara, setelah protes besar di Bangkok pada tahun 1992 mengakhiri pemerintahan militer yang telah berkuasa hampir enam dekade dan mengantarkan Thailand ke periode pemerintahan demokratis yang stabil, yang memuncak dalam konstitusi 1997 yang tampaknya memperkuat transisi demokratis Thailand.

Kemudian, demokrasi di Indonesia muncul setelah penguasa otoriter Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun mengundurkan diri setelah gejolak ekonomi yang disebabkan oleh Krisis Keuangan Asia pada 1997-1998. Namun tidak seperti Thailand pada tahun 1992, yang memiliki kelas menengah yang besar, masyarakat sipil yang bersemangat, dan ekonomi yang tumbuh subur di bawah arus besar investasi asing langsung (FDI), fondasi bagi transisi demokrasi yang sukses di Indonesia, salah satu negara terpadat di dunia dengan tingkat kemiskinan dan korupsi yang jauh lebih tinggi, tampak kurang aman.

Sementara Thailand dipuji sebagai model untuk demokrasi di Asia Tenggara, Reformasi Indonesia tampaknya tidak berpijak di pondasi yang kuat saat itu.

Namun, dua puluh tahun setelah Reformasi, Indonesia kini menjadi salah satu pilar demokrasi di Asia Tenggara dan telah memiliki lima transisi kekuasaan yang damai. Pekan lalu, pada tanggal 17 April, Indonesia mengadakan pemilu langsung terbesar di dunia, dengan lebih dari 80 persen dari 193 juta pemilih yang memenuhi syarat memberikan suaranya dalam pilpres dan pileg di lebih dari 800.000 TPS di seluruh Indonesia―suatu prestasi logistik besar-besaran yang terlaksana dengan lancar dan damai.

Hasil quick count menunjukkan bahwa Presiden Jokowi memenangkan periode kedua dengan selisih sekitar 10 poin persentase dari Prabowo Subianto, selisih yang lebih besar dari pilpres 2014. Pilpres ini sebagian besar merupakan referendum tentang periode pertama Presiden Jokowi, dan mayoritas pemilih Indonesia tampaknya lebih memilih keberlanjutan dan kebijakan Jokowi yang berfokus pada infrastruktur, kesejahteraan sosial, dan pertumbuhan ekonomi, daripada mendukung Prabowo dan koalisi Islam garis kerasnya untuk menggeser Indonesia menjadi negara yang lebih religius yang kurang toleran terhadap agama minoritas dan kebebasan sipil.

Meskipun hasil pemilu menandakan lebih banyak kontinuitas daripada perubahan di Indonesia, pemilu dan kampanye sebelum itu menggarisbawahi tentang tren dalam demokrasi Indonesia. Pemilu tersebut mengungkapkan perpecahan yang berkembang di Indonesia tentang peran agama yang layak dalam politik dan ruang publik. Protes besar-besaran kelompok Islam pada akhir tahun 2016 untuk melengserkan Ahok adalah seruan yang membangkitkan intoleransi agama konservatif dan politik identitas di Indonesia.

Pada tahun 2018, mayoritas (55 persen) Muslim Indonesia yang disurvei keberatan jika pemimpin mereka non-Muslim, persentase ini meningkat dibandingkan dari tahun 2016 dengan 42 persen. Jokowi, yang telah lama dikenal sebagai Muslim moderat dan merupakan sekutu Ahok, menggandeng ulama Muslim konservatif, Ma’ruf Amin, untuk memperkuat basis Islamnya. Namun, Jokowi dinilai menodai citra reformis liberalnya dengan menggunakan lengan negara untuk menekan lawan politik dan demonstrasi anti-Jokowi.

Terlepas dari tren yang memprihatinkan ini, masa depan demokrasi Indonesia terlihat lebih cerah daripada Thailand saat ini. Meskipun militer Thailand berjanji pada tahun 1990-an bahwa mereka akan “kembali ke barak” dan tidak pernah lagi campur tangan dalam politik, militer tetap melanjutkan kebiasaannya untuk menghasut kudeta pada tahun 2006, menggulingkan taipan miliarder telekomunikasi, Thaksin Shinawatra, yang terpilih sebagai populis dan memerintah dengan kecenderungan otokratis, dan sekali lagi pada tahun 2014 di mana militer menggulingkan pemerintahan terpilih Yingluck Shinawatra―saudara perempuan Thaksin.

Kudeta tahun 2014 dipimpin oleh Jenderal Prayuth Chan-Ocha, yang tidak seperti pemimpin kudeta militer sebelumnya menjadikan dirinya sendiri sebagai perdana menteri alih-alih mengangkat pemerintahan sipil sementara.

Hasil pemilu Thailand bulan lalu pada tanggal 24 Maret menunjukkan bahwa upaya junta militer untuk memperkuat demokrasi mayoritas tampaknya telah berhasil. Meskipun partai yang terkait dengan Thaksin, Pheu Thai, tampaknya memperoleh jumlah kursi terpilih terbanyak dan koalisi anti-junta dan pro-junta terbagi rata di Majelis Rendah dengan 500 kursi, partai pro-junta Palang Pracharath berada dalam posisi yang mapan untuk membentuk koalisi mayoritas dan menunjuk ulang Prayuth sebagai perdana menteri. Ini karena Majelis Tinggi yang beranggotakan 250 orang yang tidak terpilih akan ditunjuk oleh pemerintah junta.

Bahkan dengan keuntungan-keuntungan bawaan ini, pemerintah Prayuth tampak kaget dengan kemungkinan penolakan rakyat dalam pemilu, mengarah ke sejumlah besar kecurangan dalam pemilu—yang pertama bagi Thailand sejak transisi demokratisnya. Dan KPU Thailand tampaknya bersedia untuk campur tangan di hasil pemilu, meunculkan serangkaian tuduhan palsu terhadap Thanathorn Juangroongruangkit, pemimpin karismatik dari Future Forward Party yang progresif, yang mendapat sepertiga dari total suara di pemilu dan secara khusus menarik bagi para pemilih muda perkotaan. Kelompok pemilih ini tampaknya kurang berminat pada perpecahan politik pro-Thaksin/anti-Thaksin yang telah mendominasi politik Thailand selama dua dekade.

Beberapa tonggak dan penanda lain bulan depan akan menunjukkan tanda-tanda lebih lanjut tentang kesehatan demokrasi di Asia Tenggara. Pada 9 Mei, KPU Thailand akan mengumumkan hasil resmi pemilu, setelah penobatan Raja Vajiralongkorn pada awal Mei.

Jika Thanathorn didiskualifikasi atau partainya dibubarkan, algoritma yang tidak jelas yang membagi 150 kursi partai di bawah perwakilan proporsional dapat memiringkan hasilnya menjadi lebih berpihak pada partai pro-junta. Tetapi langkah ini juga akan memperdalam ketidakpuasan di antara banyak pemilih di Thailand, terutama pemilih yang lebih muda yang akan ditolak suaranya setelah memilih Future Forward Party dan menimbulkan pertanyaan tentang stabilitas politik Thailand dan masa depan demokrasi.

Tanggal 9 Mei juga merupakan peringatan satu tahun kemenangan koalisi Pakatan Harapan yang menggulingkan Perdana Menteri Najib dan mengembalikan Mahathir Mohamad sebagai perdana menteri di pemilu Malaysia, menandai pengalihan kekuasaan secara damai pertama dalam 61 tahun sejarah Malaysia. Mahathir menjanjikan agenda reformasi yang berfokus pada penanggulangan korupsi dan mempromosikan transparansi dan solvabilitas dalam keuangan pemerintah—termasuk meninjau dan menegosiasikan kembali kesepakatan infrastruktur besar dengan China.

Mahathir juga berjanji untuk mengembalikan kebebasan pers yang sangat dibatasi di bawah pemerintahan Najib, membuat Guardian menyebut Malaysia sebagai “harapan” untuk pers Asia Tenggara di saat wilayah tersebut menghadapi penindasan berat terhadap kebebasan pers, dengan wartawan dipenjara di Myanmar, Thailand, dan Filipina, media independen sepenuhnya ditutup di Kamboja, dan sejumlah blogger ditangkap di Vietnam.

Namun masih ada banyak pertanyaan tentang seberapa jauh Mahathir akan membongkar undang-undang media yang represif dan berhasil mengatasi korupsi. Bahkan yang menjadi pertanyaan yang lebih besar adalah kesediaan Mahathir untuk menyerahkan obor kepada mantan anak didiknya, Anwar Ibrahim, pada pertengahan tahun depan.

Terlepas dari semua ini dan hambatan potensial lainnya, perubahan demokrasi Malaysia yang mengejutkan telah menjadi salah satu dari sedikit titik terang di wilayah Asia Tenggara yang telah melihat begitu banyak kemunduran pada demokrasi dan norma-norma demokrasi.

Bulan depan, Filipina juga akan mengadakan pemilu paruh waktu pada 13 Mei, di pertengahan masa jabatan enam tahun Presiden Duterte. Sampai batas tertentu, pemilu paruh waktu akan berfungsi sebagai referendum pemerintahan Duterte, khususnya mengenai ekonomi, tetapi juga kebijakannya tentang perang narkoba, perlawanan terorisme di Marawi, dan pemulihan hubungan dengan China atas sengketa maritim di Laut China Selatan sembari menjauhkan Filipina dari Amerika Serikat.

Dengan 79 persen populasi puas dengan kinerjanya pada bulan Maret, terlepas dari kebijakannya yang tidak liberal dan melemahnya lembaga-lembaga demokrasi, tren demokrasi di Filipina agak mengecewakan.

Secara keseluruhan, suksesi pemilu besar di negara-negara utama Asia Teggara selama satu tahun menunjukkan gambaran beragam untuk tren demokrasi di Asia Tenggara. Warga sipil kembali memerintah di negara-negara seperti Thailand dan, beberapa tahun lalu, di Myanmar; perpecahan muncul di sistem demokrasi paling kuat di Asia Tenggara, yaitu Indonesia dan Filipina; dan Thailand, yang sebelumnya merupakan perintis demokrasi di Asia Tenggara, cenderung mengalami kemunduran.

Myanmar, yang dulu merupakan sumber harapan dan inspirasi ketika mulai beralih ke demokrasi dengan pemilu bersejarahnya pada tahun 2015, sekarang menjadi kisah peringatan tentang bagaimana demokrasi dapat memunculkan intoleransi dan penindasan dengan kekerasan terhadap minoritas yang tertindas.

Amy Searight adalah penasihat senior dan direktur Program Asia Tenggara di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) di Washington, DC

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.

Keterangan foto utama: Kotak suara pemilu sebelum didistribusikan di Jakarta, Indonesia, 12 April 2019. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)

Sumber: matamatapolitik.com/opini-apa-arti-pemilu-indonesia-dan-thailand-bagi-demokrasi-di-asia-tenggara/

Post a Comment

Previous Post Next Post