Miftah Sabri
CEO Selasar Indonesia dan Tokoh Muda Riau
PEMERINTAH akhirnya menunjuk PT Pertamina (Persero) sebagai pemenang Blok Minyak dan Gas (Migas) Rokan. Dengan hasil itu, Pertamina berhak mengelola Blok Rokan setelah kontrak Chevron Pacific Indonesia habis pada 2021. Sebagaimana diungkapkan Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, setelah mengevaluasi dua proposal yang diajukan Pertamina dan Chevron, pemerintah menetapkan Pertamina sebagai operator Rokan dari 2021 sampai 2041. Dengan demikian, negara bisa mendapatkan bagi hasil minyak dan gas bumi rata-rata sebesar 48% selama 20 tahun. Sisanya milik kontraktor yang ada di blok tersebut, termasuk Pertamina.
Bagi hasil tersebut juga ada tambahan diskresi dari Menteri ESDM sebesar 8%. Bonus tanda tangan mencapai USD783 juta atau Rp11,3 triliun. Kemudian pendapatan negara 20 tahun ke depan USD57 miliar atau Rp825 triliun. Pertamina akan mengelola Blok Rokan hingga 2041. Adapun, selama semester I 2018 lifting Rokan sebesar 207.148 barel per hari (bph). Ini masih di bawah dari target 213.551 bph. Hingga akhir tahun SKK Migas pun memprediksi lifting minyak Rokan di akhir 2018 akan mencapai 205.952 barel per hari (bph). Sementara bagi hasil minyak untuk Pertamina sekitar 52% dari produksi kotor.
Namun, penghematan itu bisa saja lebih besar jika produksi meningkat. Adapun untuk meningkatkan produksi bisa menggunakan teknologi tingkat lanjut (Enhanced Oil Recovery/EOR). Dengan demikian, persediaan energi di Indonesia bisa lebih terjamin. Saat ini saja Indonesia mengimpor minyak mentah sekitar 400.000 bph. Kalau berkurang 100.000 bph, itu sudah cukup lumayan untuk mengurangi ketergantungan impor dan keamanan supply bisa makin membaik. Blok Rokan nantinya juga bisa dikelola di seluruh kilang milik Pertamina, walaupun prioritas kilang yang akan mendapatkan pasokan minyak Rokan adalah Duri dan Kilang Balongan.
Lebih dari itu, pengelolaan Blok Rokan oleh PT Pertamina (Persero) ternyata juga bisa memberi dampak pada devisa negara. Pasalnya, Blok Rokan bisa meningkatkan produksi minyak bumi Pertamina sehingga angka impor bisa diturunkan. Konon penghematan devisa tersebut sudah disampaikan dalam proposal Pertamina saat bersaing dengan Chevron tempo hari. Kalkulasinya, penghematan devisa bisa mencapai sekitar USD4 miliar per tahun serta menurunkan biaya produksi hilir secara jangka panjang.
Mengapa bisa demikian? Sebab, karakteristik minyak di Blok Rokan sudah sesuai dengan konfigurasi kilang nasional sehingga produksi minyak Blok Rokan juga bisa diolah di dalam negeri, yakni di Kilang Balongan, Dumai, Plaju, Balikpapan, dan lainnya.
Sementara itu, guna mempertahankan produksi, Pertamina dalam proposal juga menyampaikan akan memanfaatkan teknologi tingkat lanjut (enhanced oil recovery/EOR). Teknologi semacam ini telah diterapkan di lapangan-lapangan migas Pertamina, seperti di Rantau, Jirak, Tanjung yang dikelola Pertamina EP. Teknologi lain yang akan menopang produksi adalah steamflood. Konon Pertamina juga mengklaim sudah berhasil menerapkan teknologi itu di lapangan PHE Siak.
Hasil tersebut tentu menjadi buah manis bagi pemerintah dan Pertamina. Lalu bagaimana nasib Riau sebagai provinsi di mana Blok Rokan terletak? Tentu akan ada kenaikan selama lifting-nya naik. Kendati demikian, berdasarkan aturan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang sudah ada, cukup terasa bahwa dana bagi hasil migas untuk provinsi dan daerah penghasil masih sangat kecil, boleh jadi tak sebanding dengan posisi daerah tersebut yang berstatus sebagai daerah penghasil dan daerah yang akan menerima risiko-risiko tambang yang muncul. Toh, mumpung Pertamina yang memenangkan, sebaiknya Riau dan pemda-pemda yang terkait langsung dengan Blok Rokan juga membuka tawaran baru alias meminta pemerintah pusat untuk menegosiasi ulang takaran bagi hasil minyak dan gas bumi antara pusat dan daerah.
Meminta atau mengajak bernegosiasi ulang tentu tidak salah, apalagi negara kita negara demokrasi yang sudah mengokohkan asas-asas otonomi daerah dalam sistem pemerintahannya. Bisa dibayangkan, selama 20 tahun sejak 2021, pemerintah akan mengantongi Rp825 triliun dari Blok Rokan, ada kenaikan yang cukup besar. Masalahnya, jangan sampai euforia tersebut hanya menjadi milik Pertamina, kontraktor, dan pemerintah pusat semata, Riau pun tentu harus mendapatkan nilai tambah dari kemenangan Pertamina tersebut.
Berdasarkan regulasi yang ada, dasar pemerintah membagi persentase dana bagi hasil migas adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Regulasi tersebut mengatur bahwa penerimaan minyak bumi, setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lain, dibagi dengan imbangan 84,5% untuk pemerintah pusat dan 15,5% untuk daerah. Dari angka 15,5% tersebut, sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar pada daerah bersangkutan.
Sisanya sebesar 15% dibagi dengan rincian: 3% untuk provinsi; 6% untuk kabupaten/kota penghasil; dan 6% untuk kabupaten/kota lain dalam provinsi yang bersangkutan. Khusus untuk penerimaan gas bumi, pembagiannya adalah 69,5% untuk pemerintah pusat dan 30,5% untuk daerah. Lalu, sebesar 0,5% dari hak daerah ini akan dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar pada daerah bersangkutan. Sisanya sebesar 30% dibagi dengan rincian 6% untuk provinsi; 12% untuk kabupaten/kota penghasil; dan 12% untuk kabupaten/kota lain.
Saya kira sudah waktunya bagi Riau, dan daerah penghasil minyak lain, untuk mengajak pemerintah pusat duduk bersama kembali dan menemukan kesepakatan baru soal kenaikan jatah bagi hasil daerah penghasil dengan meninjau ulang klausul-klausul bagi hasil dalam regulasi perimbangan keuangan pusat dan daerah. Boleh jadi dana bagi hasil minyak tidak sebesar persentase bagi hasil gas bumi, tapi setidaknya harus lebih berimbang dan adil.
Bagi pusat pun, untuk mempercepat pembangunan dari daerah pinggiran sebagaimana moto Jokowi, angka 15,5% dana bagi hasil untuk daerah penghasil minyak tentu terasa sangat tidak adil.
Dalam hal ini, Jokowi semestinya membuktikan lebih dari sekadar memindah hak pengelolaan ke perusahaan domestik karena semua pemimpin pasti bisa melakukan itu.
Cukup perintahkan menteri terkait untuk memenangkan Pertamina beres urusan. Namun, akan menjadi prestasi lain jika Jokowi dan jajarannya berhasil menggeser angka bagi hasil minyak dari yang telah ditetapkan dalam aturan lama. Mungkin tidak sampai 30,5% seperti bagi hasil gas bumi, tapi mengubah dari 15,5% menjadi 20–25% pasti menjadi prestasi tersendiri bagi Jokowi.
Dengan komposisi baru tersebut (20–25%), misalnya, daerah provinsi bisa mendapat 4–5%, 0,5–1% untuk tambahan anggaran pendidikan dasar, 7,5–9% untuk daerah penghasil, dan 7,5–9% untuk daerah lain di dalam provinsi yang sama.
Menurut hemat saya, sudah saatnya Riau dan daerah penghasil minyak lain mendapat haknya secara proporsional, adil, dan pantas. Apalagi berkemungkinan besar pemda-pemda yang terkait Blok Rokan, misalnya, akan sulit mendapat hak partisipasi karena beberapa kendala dan persoalan. Karena itu, ada baiknya Riau mencarikan celah lain untuk mendapat hak yang sesuai dan pantas, yakni peningkatan penerimaan dana bagi hasil minyak agar Riau tak terlalu terkesan hanya dijadikan sapi perah.(whb)
Sumber: Sindonews.com
CEO Selasar Indonesia dan Tokoh Muda Riau
PEMERINTAH akhirnya menunjuk PT Pertamina (Persero) sebagai pemenang Blok Minyak dan Gas (Migas) Rokan. Dengan hasil itu, Pertamina berhak mengelola Blok Rokan setelah kontrak Chevron Pacific Indonesia habis pada 2021. Sebagaimana diungkapkan Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, setelah mengevaluasi dua proposal yang diajukan Pertamina dan Chevron, pemerintah menetapkan Pertamina sebagai operator Rokan dari 2021 sampai 2041. Dengan demikian, negara bisa mendapatkan bagi hasil minyak dan gas bumi rata-rata sebesar 48% selama 20 tahun. Sisanya milik kontraktor yang ada di blok tersebut, termasuk Pertamina.
Bagi hasil tersebut juga ada tambahan diskresi dari Menteri ESDM sebesar 8%. Bonus tanda tangan mencapai USD783 juta atau Rp11,3 triliun. Kemudian pendapatan negara 20 tahun ke depan USD57 miliar atau Rp825 triliun. Pertamina akan mengelola Blok Rokan hingga 2041. Adapun, selama semester I 2018 lifting Rokan sebesar 207.148 barel per hari (bph). Ini masih di bawah dari target 213.551 bph. Hingga akhir tahun SKK Migas pun memprediksi lifting minyak Rokan di akhir 2018 akan mencapai 205.952 barel per hari (bph). Sementara bagi hasil minyak untuk Pertamina sekitar 52% dari produksi kotor.
Namun, penghematan itu bisa saja lebih besar jika produksi meningkat. Adapun untuk meningkatkan produksi bisa menggunakan teknologi tingkat lanjut (Enhanced Oil Recovery/EOR). Dengan demikian, persediaan energi di Indonesia bisa lebih terjamin. Saat ini saja Indonesia mengimpor minyak mentah sekitar 400.000 bph. Kalau berkurang 100.000 bph, itu sudah cukup lumayan untuk mengurangi ketergantungan impor dan keamanan supply bisa makin membaik. Blok Rokan nantinya juga bisa dikelola di seluruh kilang milik Pertamina, walaupun prioritas kilang yang akan mendapatkan pasokan minyak Rokan adalah Duri dan Kilang Balongan.
Lebih dari itu, pengelolaan Blok Rokan oleh PT Pertamina (Persero) ternyata juga bisa memberi dampak pada devisa negara. Pasalnya, Blok Rokan bisa meningkatkan produksi minyak bumi Pertamina sehingga angka impor bisa diturunkan. Konon penghematan devisa tersebut sudah disampaikan dalam proposal Pertamina saat bersaing dengan Chevron tempo hari. Kalkulasinya, penghematan devisa bisa mencapai sekitar USD4 miliar per tahun serta menurunkan biaya produksi hilir secara jangka panjang.
Mengapa bisa demikian? Sebab, karakteristik minyak di Blok Rokan sudah sesuai dengan konfigurasi kilang nasional sehingga produksi minyak Blok Rokan juga bisa diolah di dalam negeri, yakni di Kilang Balongan, Dumai, Plaju, Balikpapan, dan lainnya.
Sementara itu, guna mempertahankan produksi, Pertamina dalam proposal juga menyampaikan akan memanfaatkan teknologi tingkat lanjut (enhanced oil recovery/EOR). Teknologi semacam ini telah diterapkan di lapangan-lapangan migas Pertamina, seperti di Rantau, Jirak, Tanjung yang dikelola Pertamina EP. Teknologi lain yang akan menopang produksi adalah steamflood. Konon Pertamina juga mengklaim sudah berhasil menerapkan teknologi itu di lapangan PHE Siak.
Hasil tersebut tentu menjadi buah manis bagi pemerintah dan Pertamina. Lalu bagaimana nasib Riau sebagai provinsi di mana Blok Rokan terletak? Tentu akan ada kenaikan selama lifting-nya naik. Kendati demikian, berdasarkan aturan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang sudah ada, cukup terasa bahwa dana bagi hasil migas untuk provinsi dan daerah penghasil masih sangat kecil, boleh jadi tak sebanding dengan posisi daerah tersebut yang berstatus sebagai daerah penghasil dan daerah yang akan menerima risiko-risiko tambang yang muncul. Toh, mumpung Pertamina yang memenangkan, sebaiknya Riau dan pemda-pemda yang terkait langsung dengan Blok Rokan juga membuka tawaran baru alias meminta pemerintah pusat untuk menegosiasi ulang takaran bagi hasil minyak dan gas bumi antara pusat dan daerah.
Meminta atau mengajak bernegosiasi ulang tentu tidak salah, apalagi negara kita negara demokrasi yang sudah mengokohkan asas-asas otonomi daerah dalam sistem pemerintahannya. Bisa dibayangkan, selama 20 tahun sejak 2021, pemerintah akan mengantongi Rp825 triliun dari Blok Rokan, ada kenaikan yang cukup besar. Masalahnya, jangan sampai euforia tersebut hanya menjadi milik Pertamina, kontraktor, dan pemerintah pusat semata, Riau pun tentu harus mendapatkan nilai tambah dari kemenangan Pertamina tersebut.
Berdasarkan regulasi yang ada, dasar pemerintah membagi persentase dana bagi hasil migas adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Regulasi tersebut mengatur bahwa penerimaan minyak bumi, setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lain, dibagi dengan imbangan 84,5% untuk pemerintah pusat dan 15,5% untuk daerah. Dari angka 15,5% tersebut, sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar pada daerah bersangkutan.
Sisanya sebesar 15% dibagi dengan rincian: 3% untuk provinsi; 6% untuk kabupaten/kota penghasil; dan 6% untuk kabupaten/kota lain dalam provinsi yang bersangkutan. Khusus untuk penerimaan gas bumi, pembagiannya adalah 69,5% untuk pemerintah pusat dan 30,5% untuk daerah. Lalu, sebesar 0,5% dari hak daerah ini akan dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar pada daerah bersangkutan. Sisanya sebesar 30% dibagi dengan rincian 6% untuk provinsi; 12% untuk kabupaten/kota penghasil; dan 12% untuk kabupaten/kota lain.
Saya kira sudah waktunya bagi Riau, dan daerah penghasil minyak lain, untuk mengajak pemerintah pusat duduk bersama kembali dan menemukan kesepakatan baru soal kenaikan jatah bagi hasil daerah penghasil dengan meninjau ulang klausul-klausul bagi hasil dalam regulasi perimbangan keuangan pusat dan daerah. Boleh jadi dana bagi hasil minyak tidak sebesar persentase bagi hasil gas bumi, tapi setidaknya harus lebih berimbang dan adil.
Bagi pusat pun, untuk mempercepat pembangunan dari daerah pinggiran sebagaimana moto Jokowi, angka 15,5% dana bagi hasil untuk daerah penghasil minyak tentu terasa sangat tidak adil.
Dalam hal ini, Jokowi semestinya membuktikan lebih dari sekadar memindah hak pengelolaan ke perusahaan domestik karena semua pemimpin pasti bisa melakukan itu.
Cukup perintahkan menteri terkait untuk memenangkan Pertamina beres urusan. Namun, akan menjadi prestasi lain jika Jokowi dan jajarannya berhasil menggeser angka bagi hasil minyak dari yang telah ditetapkan dalam aturan lama. Mungkin tidak sampai 30,5% seperti bagi hasil gas bumi, tapi mengubah dari 15,5% menjadi 20–25% pasti menjadi prestasi tersendiri bagi Jokowi.
Dengan komposisi baru tersebut (20–25%), misalnya, daerah provinsi bisa mendapat 4–5%, 0,5–1% untuk tambahan anggaran pendidikan dasar, 7,5–9% untuk daerah penghasil, dan 7,5–9% untuk daerah lain di dalam provinsi yang sama.
Menurut hemat saya, sudah saatnya Riau dan daerah penghasil minyak lain mendapat haknya secara proporsional, adil, dan pantas. Apalagi berkemungkinan besar pemda-pemda yang terkait Blok Rokan, misalnya, akan sulit mendapat hak partisipasi karena beberapa kendala dan persoalan. Karena itu, ada baiknya Riau mencarikan celah lain untuk mendapat hak yang sesuai dan pantas, yakni peningkatan penerimaan dana bagi hasil minyak agar Riau tak terlalu terkesan hanya dijadikan sapi perah.(whb)
Sumber: Sindonews.com
Tags:
Opini