Dwi Ardian: Ketika Kemiskinan Menjadi Komoditas Politik

Dwi Ardian
ASN, Statistisi Pelaksana di BPS Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat

BEBERAPA saat terakhir warganet begitu ramai memperbincang kan mengenai Lalu Muhammad Zohri, atlet lari yang merupakan anak dusun miskin dari NTB.

Semua dibahas, mu lai potret keseharian Zohri hing ga insiden bendera. Tentu bukan masalah besar jika saja tidak dibesar-besarkan oleh ne tizen yang reaktif dan ka ta nya kritis. Hal sesepele apa pun akan menjadi besar kalau sudah ditarik-tarik ke ranah politik. Isu terkini yang cukup menyita perhatian publik adalah rilis data kemiskinan periode Maret 2018 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (16/7). Persentase kemiskinan yang menyentuh single digit hingga 9,82% me rupakan prestasi luar biasa pemerintah yang baru terjadi sejak zaman krisis moneter 1998. Jumlah orang miskin turun menjadi 25,95 juta orang atau berkurang 633.200 orang.
Tentu sebuah senjata tanpa tanding bagi pimpinan koalisi PDI Perjuangan dan koalisinya menjelang pendaftaran calon presiden pada Agustus mendatang. Benar saja, beberapa menit setelah data itu dirilis bermunculanlah status-status penuh kebanggaan dari para politisi pengusung pemerintahan sekarang. Hal sangat kontras tentunya dari kubu seberang yang memang dalam kondisi terancam. Mulailah para netizen loyalis mereka membuat berbagai bantahan dan kritikan yang diarahkan kepada BPS. Dari kri tikan yang bersifat ilmiah hingga kritikan yang lebih tepatnya dikatakan hujatan tidak berdasar.

Inilah zaman keterbukaan, zaman yang katanya semua bebas dengan dasar demokrasi. BPS sebagai lembaga pemerintah non kementerian yang berusaha berdiri di atas nilai-nilai profesional, integritas, dan amanah tentu telah memiliki dasar dan argumen yang sulit terbantahkan. Penghitungan kemiskinan secara makro (bukan by name by addres) telah berpuluh tahun diadopsi oleh BPS berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan dua kali setahun, Maret dan September. Data yang baru dirilis oleh BPS adalah periode Maret atau tiga bulan yang lalu. Tentu kondisi pada saat itu belum seperti seka rang. Kondisi Maret belum me masuki bulan puasa yang harga-harga kebutuhan pokok pada umumnya naik, belum ada kelangkaan kenaikan harga ayam ras dan telur ayam ras seperti sekarang.

Tentu hasil survei akan sangat berbeda jika dilaksanakan sekarang. Masyarakat yang hampir miskin yang ber ada di sekitar garis kemiskinan, tentu begitu rawan untuk jatuh kejurang kemiskinan. Kita samasama menanti survei yang sama oleh BPS pada September nanti. Indepen densi BPS sekali lagi diuji da lam tahun yang katanya tahun politik. “Independensi BPS ada lah harga mati,” tegas Ke pa la BPS Kecuk Suhariyanto dalam beberapa kesempatan.

“Siasat” Pemerintah Berhasil (?)

Program beras sejahtera (rastra) dan bantuan nontunai pada triwulan I telah ter sa lur - kan sesuai jadwal. Ber da sar kan data Bulog, realisasi distribusi bantuan sosial ras tra pada Januari 2018 sebesar 99,65%, Fe bruari 99,66%, dan Maret 99,62%. Hal yang tidak terjadi di periode-periode se belumnya. Sepertinya pe me rintah paham betul bahwa menj aga daya beli dan kon sumsi masyarakat adalah kun ci utama menurunkan kemis kinan.

Meski dalam jang - ka pen dek dan hanya men jang - kau masyarakat miskin di se ki - tar garis kemiskinan, te tapi juga paling tidak itu bisa me naikkan nilai jual calon pre siden pe ta - hana untuk kembali bertarung pada tahun men datang. Pemerintah berhasil me mas - tikan bantuan bisa disa lur kan te - pat waktu dan relatif tepat sa sar - an kepada mereka yang berada di sekitar garis kemiskinan (GK). Hasilnya, yang semula berada agak di ba wah GK bisa dinaikkan sedikit di atas GK. Cara yang jeli dan cerdik “menyiasati” survei yang dilakukan BPS. Sebagai masyarakat biasa yang tentu menginginkan kebaik an bagi bangsa kita, tentu ber harap angka kemiskinan itu te rus menurun hingga titik teren dah.

Namun, perlu kita cermati bersama bahwa angka kemiskinan 9,82% tersebut jangan terlalu dibanggakan ka rena ma sih banyak indi ka tor lain yang perlu juga kita per hatikan. In deks kedalaman ke miskinan In donesia yang ber ada di angka 1,71 meng gam barkan bahwa rata-rata orang miskin (dari sisi pe ngeluaran) masih sangat jauh di bawah garis kemiskinan, ada ke sen jang an yang besar, bahkan di pe de saan angkanya mencapai 2,37. Tentu perlu upaya yang menyeluruh serta tidak biasa (luar biasa) agar bisa meng ang kat masyarakat dalam dasar kemiskinan tersebut. Tidak cu kup hanya dengan operasi pasar murah, pemberian sub sidi, dan bantuan tunai lain nya. Selain itu, masih ada yang namanya indeks keparahan kemiskinan yang angkanya mencapai 0,44.

Dimensi lain yang harus dicermati adalah ketimpangan antar daerah. Ada daerah yang per - sentase kemiskinannya sa ngat jauh di bawah kemiskinan nasional seperti Bali 4,01%, tetapi di sisi lain ada yang be gitu besar persentasenya se perti Malukudan Papua yakni 18,12% dan 27,74%. Kalau dilihat dari sisi gini rasio yang 0,389, distribusi pengeluaran penduduk 40% terbawah ha nya berada 17,29%, berban ding penduduk 20% atas men capai 46,09%. Masih cukup be sar ketimpangannya.

Jika ingin memper ta han kan angka kemiskinan ini, pe merintah harus bisa menjaga daya beli masyarakat dengan tetap menyalurkan bantuan-bantuan sosial. Hal yang cukup berpengaruh menurunkan ke miskinan di periode Maret 2018 ini bantuan sosial tunai, pro gram beras sejahtera yang di sa lur kan tepat waktu dan tepat sa saran, ban tuan pangan non tunai, serta memastikan nilai tukar petani tidak meng alami degradasi. Sekali lagi, ini adalah program-program yang hanya bisa “menjinak kan” orang miskin di sekitar garis kemiskinan saja. Kemiskinan yang dalam dan parah tidak bisa diperbaiki de ngan pro gram-program itu saja. Kemiskinan seyogianya menjadi tanggung jawab ber sa ma.

Pemerintah harus kita ban tu sesuai kemampuan yang kita bisa. Jangan malah menambah beban pemerintah dengan kri tik an yang tidak berdasar atau ber bondong-bondong meng aku miskin ketika ada program yang bisa diakali. Contoh ter de kat adalah polemik soal surat ke terangan tanda miskin. Miskin boleh, tetapi ber mental miskin jangan.(mhd/https://nasional.sindonews.com)

Post a Comment

Previous Post Next Post