Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
PERTEMUAN antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin telah terjadi di Helsinki, Finlandia, Senin (16/7) lalu. Pertemuan ini bukan merupakan pertemuan yang pertama. Hubungan Trump dan Putin dapat dikategorikan sebagai hubungan yang sangat istimewa karena Trump begitu menghormati Putin. Hal ini dapat terbaca dari pernyataan-pernyataannya.
Trump pernah bertemu dengan Putin dan terkesan dengan ketokohan mantan agen KGB tersebut, seperti yang terjadi pada 2013 ketika dia mengantarkan Miss Universe ke Moskow. Pujian itu diucapkan lagi dalam Conservative Political Action Conference (C-Pac) pada 2014, dan dia sering membandingkan Putin yang lebih baik daripada Obama pada 2015 ketika dia memulai kampanye mencalonkan diri sebagai presiden.
Pertemuan Trump dan Putin setelah Trump menjabat sebagai presiden terjadi tiga kali. Trump yang telah menjabat sebagai presiden AS selama 18 bulan bertemu secara formal dua kali, yakni di Jerman pada Juli 2017 dalam pertemuan G-20 dan satu kali di Vietnam pada pertemuan APEC bulan November 2017.
Apa yang membuat pertemuan Senin lalu menjadi khusus dan berarti dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya, adalah karena harapan yang tinggi dari dunia. Dunia berharap kedua negara tersebut mau membicarakan isu yang terkait dengan perdamaian, terorisme, dan perdagangan dunia seperti masalah nuklir, masalah Suriah, perdagangan, Korea Utara, dan masa depan NATO. Harapan ini mungkin terlalu tinggi dan bertentangan dengan keyakinan Trump sendiri.
Trump mencuit di Twitter bahwa dirinya tidak berharap terlalu tinggi dari pertemuan puncak di Finlandia, sesaat sebelum pertemuan berlangsung. Sebaliknya, Rusia justru menyatakan bahwa KTT ini dapat menjadi titik tolak untuk normalisasi hubungan AS-Rusia yang selama ini tidak harmonis.
Dari sisi diplomasi, KTT ini menjadi istimewa karena pertemuan itu adalah pertemuan tatap muka secara rahasia dan pribadi antara Trump dan Putin tanpa didampingi siapa pun. Pertemuan yang dijadwalkan satu setengah jam tertunda hingga menjadi dua jam lebih.
Kita tidak mengetahui apa sesungguhnya yang dibicarakan dan yang tidak dibicarakan oleh kedua pemimpin pemegang hulu ledak nuklir terbesar di dunia tersebut. Kita hanya dapat mengetahui hasil pertemuan itu dari siaran pers dan sesi tanya-jawab yang dilakukan oleh Trump dan Putin setelah pertemuan pribadi.
Dari sesi tanya-jawab itu, secara umum, saya mengatakan bahwa pertemuan ini masih jauh dari harapan banyak pihak. Saya mencatat ada tiga hal menarik yang muncul dari pertemuan tersebut.
Pertama adalah sejarah Finlandia sebagai tempat pertemuan puncak. Negara ini memang terkenal dalam upaya-upaya perdamaian di dunia.
Finlandia adalah negara yang memfasilitasi pertemuan perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan pengakuan GAM akan kedaulatan RI di Aceh dan RI, juga memberikan amnesti dan rehabilitasi ekonomi dan politik kepada anggota GAM.
Peran Finlandia dalam mempromosikan perdamaian tidak lepas dari politik netralitas dalam hubungan luar negeri antara Rusia dan Barat. Politik netralitas ini telah berlangsung sejak Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Posisi geografis yang berbatasan langsung dengan Rusia dan sejarah negeri mereka yang pernah berada di bawah Kekaisaran Rusia menempatkan negara ini dalam risiko intervensi Rusia. Oleh sebab itu, netralitas dan politik jalan tengah yang dibangunnya menjadi kekuatan Finlandia di panggung internasional.
Dalam konteks hubungan Rusia-AS, Finlandia pernah memfasilitasi KTT kedua negara ini sebanyak tiga kali selama masa Perang Dingin (1975, 1988, dan 1990) dan dua kali setelah Uni Soviet bubar (1992 dan 1997). Sejarah tersebut kemudian berulang lagi pada Senin lalu.
Catatan kedua terkait pertemuan puncak AS-Rusia adalah penampilan Putin yang lebih menonjol dalam sesi tanya-jawab, yang merupakan sesi paling kritis dalam diplomasi. Dalam sesi tanya-jawab, kemampuan pemimpin dalam menguasai materi sangat menentukan persepsi yang akan lahir di benak penonton.
Setiap jurnalis yang hadir di dalam ruangan tersebut memiliki kebebasan untuk menanyakan segala hal dan kesempatan itu biasanya tidak dilewatkan oleh para jurnalis untuk menanyakan hal-hal yang sensitif terkait hubungan AS-Rusia, yaitu dugaan intervensi Rusia atas pemilu di AS. Seperti sebuah debat pilpres, pertanyaan tersebut lebih menguntungkan Putin karena dapat menjelaskan posisi Rusia secara langsung.
Putin memanfaatkan kesempatan untuk dapat memperlihatkan dan memberikan citra sebagai pemimpin yang menguasai masalah dan dapat menjawab secara otoritatif. Penjelasannya penting karena selama ini informasi dari sisi Rusia cenderung terdistorsi oleh media Barat.
Terlepas dari konteks tersebut, saya pribadi menyayangkan para jurnalis yang mendapat kesempatan di dalam ruangan tersebut justru tidak menanyakan lebih dalam tentang masalah-masalah dunia penting seperti masa depan Suriah, denuklirisasi, kerja sama menghancurkan ISIS, kemajuan HAM, masalah Iran, dan seterusnya.
Sedikit orang atau jurnalis yang bisa mendapat kesempatan. Beberapa jurnalis di dalam pertemuan itu lebih tertarik untuk menanyakan hal yang bersifat bias politik dalam negeri di AS, seperti dugaan intervensi pemilu dan hubungan AS dengan EU.
Catatan ketiga saya adalah kurangnya detail kesepakatan yang secara formal disampaikan dalam konferensi pers di antara Trump dan Putin. Pertemuan puncak apa pun dalam segala bidang, apalagi menyangkut dua negara besar, biasanya didahului oleh sejumlah pertemuan yang dilakukan oleh perwakilan dari kedua belah pihak untuk menyepakati hal-hal yang akan disetujui dan yang tidak disetujui.
KTT adalah formalitas untuk mengesahkan apa yang sudah dibicarakan sebelum pertemuan itu terjadi. KTT juga bisa menjadi puncak bagi kedua pemimpin untuk membicarakan dan memutuskan hal-hal yang tidak dapat diputuskan oleh jajaran di bawah mereka.
Sering kali pertemuan secara pribadi para pemimpin adalah cara di mana sebuah kebuntuan dalam negosiasi dapat diselesaikan. Hal ini terjadi karena salah satu pihak dapat memberikan kredibilitasnya untuk meyakinkan pihak lain untuk maju mencapai kesepakatan.
KTT yang telah berakhir kemarin membutuhkan langkah lanjut dari kedua belah pihak. Hal ini tidak mudah terutama dari sisi AS, karena beberapa saat lagi akan dilakukan mid-term election (pemilu sela) untuk memilih anggota Kongres.
Kongres juga sedang melakukan dengar pendapat terkait dugaan Rusia mencampuri pemilu di AS. Pihak AS telah mengindikasikan 12 intelijen Rusia, 13 orang berkewarganegaraan Rusia, dan 3 perusahaan terlibat dalam intervensi, khususnya surel dari Partai Demokrat pada pemilu 2016 yang lalu.
Putin sendiri sudah menawarkan kerja sama untuk menyelidiki mereka sebagai bagian dari upaya untuk mengklarifikasi ketidakterlibatan mereka dalam aksi tersebut. Fakta-fakta tersebut akan menjadi penghambat utama dari upaya untuk menormalisasi hubungan AS-Rusia yang selama ini berada di titik paling bawah hubungan diplomasi. (poe)
Sumber: https://nasional.sindonews.com
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
PERTEMUAN antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin telah terjadi di Helsinki, Finlandia, Senin (16/7) lalu. Pertemuan ini bukan merupakan pertemuan yang pertama. Hubungan Trump dan Putin dapat dikategorikan sebagai hubungan yang sangat istimewa karena Trump begitu menghormati Putin. Hal ini dapat terbaca dari pernyataan-pernyataannya.
Trump pernah bertemu dengan Putin dan terkesan dengan ketokohan mantan agen KGB tersebut, seperti yang terjadi pada 2013 ketika dia mengantarkan Miss Universe ke Moskow. Pujian itu diucapkan lagi dalam Conservative Political Action Conference (C-Pac) pada 2014, dan dia sering membandingkan Putin yang lebih baik daripada Obama pada 2015 ketika dia memulai kampanye mencalonkan diri sebagai presiden.
Pertemuan Trump dan Putin setelah Trump menjabat sebagai presiden terjadi tiga kali. Trump yang telah menjabat sebagai presiden AS selama 18 bulan bertemu secara formal dua kali, yakni di Jerman pada Juli 2017 dalam pertemuan G-20 dan satu kali di Vietnam pada pertemuan APEC bulan November 2017.
Apa yang membuat pertemuan Senin lalu menjadi khusus dan berarti dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya, adalah karena harapan yang tinggi dari dunia. Dunia berharap kedua negara tersebut mau membicarakan isu yang terkait dengan perdamaian, terorisme, dan perdagangan dunia seperti masalah nuklir, masalah Suriah, perdagangan, Korea Utara, dan masa depan NATO. Harapan ini mungkin terlalu tinggi dan bertentangan dengan keyakinan Trump sendiri.
Trump mencuit di Twitter bahwa dirinya tidak berharap terlalu tinggi dari pertemuan puncak di Finlandia, sesaat sebelum pertemuan berlangsung. Sebaliknya, Rusia justru menyatakan bahwa KTT ini dapat menjadi titik tolak untuk normalisasi hubungan AS-Rusia yang selama ini tidak harmonis.
Dari sisi diplomasi, KTT ini menjadi istimewa karena pertemuan itu adalah pertemuan tatap muka secara rahasia dan pribadi antara Trump dan Putin tanpa didampingi siapa pun. Pertemuan yang dijadwalkan satu setengah jam tertunda hingga menjadi dua jam lebih.
Kita tidak mengetahui apa sesungguhnya yang dibicarakan dan yang tidak dibicarakan oleh kedua pemimpin pemegang hulu ledak nuklir terbesar di dunia tersebut. Kita hanya dapat mengetahui hasil pertemuan itu dari siaran pers dan sesi tanya-jawab yang dilakukan oleh Trump dan Putin setelah pertemuan pribadi.
Dari sesi tanya-jawab itu, secara umum, saya mengatakan bahwa pertemuan ini masih jauh dari harapan banyak pihak. Saya mencatat ada tiga hal menarik yang muncul dari pertemuan tersebut.
Pertama adalah sejarah Finlandia sebagai tempat pertemuan puncak. Negara ini memang terkenal dalam upaya-upaya perdamaian di dunia.
Finlandia adalah negara yang memfasilitasi pertemuan perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan pengakuan GAM akan kedaulatan RI di Aceh dan RI, juga memberikan amnesti dan rehabilitasi ekonomi dan politik kepada anggota GAM.
Peran Finlandia dalam mempromosikan perdamaian tidak lepas dari politik netralitas dalam hubungan luar negeri antara Rusia dan Barat. Politik netralitas ini telah berlangsung sejak Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Posisi geografis yang berbatasan langsung dengan Rusia dan sejarah negeri mereka yang pernah berada di bawah Kekaisaran Rusia menempatkan negara ini dalam risiko intervensi Rusia. Oleh sebab itu, netralitas dan politik jalan tengah yang dibangunnya menjadi kekuatan Finlandia di panggung internasional.
Dalam konteks hubungan Rusia-AS, Finlandia pernah memfasilitasi KTT kedua negara ini sebanyak tiga kali selama masa Perang Dingin (1975, 1988, dan 1990) dan dua kali setelah Uni Soviet bubar (1992 dan 1997). Sejarah tersebut kemudian berulang lagi pada Senin lalu.
Catatan kedua terkait pertemuan puncak AS-Rusia adalah penampilan Putin yang lebih menonjol dalam sesi tanya-jawab, yang merupakan sesi paling kritis dalam diplomasi. Dalam sesi tanya-jawab, kemampuan pemimpin dalam menguasai materi sangat menentukan persepsi yang akan lahir di benak penonton.
Setiap jurnalis yang hadir di dalam ruangan tersebut memiliki kebebasan untuk menanyakan segala hal dan kesempatan itu biasanya tidak dilewatkan oleh para jurnalis untuk menanyakan hal-hal yang sensitif terkait hubungan AS-Rusia, yaitu dugaan intervensi Rusia atas pemilu di AS. Seperti sebuah debat pilpres, pertanyaan tersebut lebih menguntungkan Putin karena dapat menjelaskan posisi Rusia secara langsung.
Putin memanfaatkan kesempatan untuk dapat memperlihatkan dan memberikan citra sebagai pemimpin yang menguasai masalah dan dapat menjawab secara otoritatif. Penjelasannya penting karena selama ini informasi dari sisi Rusia cenderung terdistorsi oleh media Barat.
Terlepas dari konteks tersebut, saya pribadi menyayangkan para jurnalis yang mendapat kesempatan di dalam ruangan tersebut justru tidak menanyakan lebih dalam tentang masalah-masalah dunia penting seperti masa depan Suriah, denuklirisasi, kerja sama menghancurkan ISIS, kemajuan HAM, masalah Iran, dan seterusnya.
Sedikit orang atau jurnalis yang bisa mendapat kesempatan. Beberapa jurnalis di dalam pertemuan itu lebih tertarik untuk menanyakan hal yang bersifat bias politik dalam negeri di AS, seperti dugaan intervensi pemilu dan hubungan AS dengan EU.
Catatan ketiga saya adalah kurangnya detail kesepakatan yang secara formal disampaikan dalam konferensi pers di antara Trump dan Putin. Pertemuan puncak apa pun dalam segala bidang, apalagi menyangkut dua negara besar, biasanya didahului oleh sejumlah pertemuan yang dilakukan oleh perwakilan dari kedua belah pihak untuk menyepakati hal-hal yang akan disetujui dan yang tidak disetujui.
KTT adalah formalitas untuk mengesahkan apa yang sudah dibicarakan sebelum pertemuan itu terjadi. KTT juga bisa menjadi puncak bagi kedua pemimpin untuk membicarakan dan memutuskan hal-hal yang tidak dapat diputuskan oleh jajaran di bawah mereka.
Sering kali pertemuan secara pribadi para pemimpin adalah cara di mana sebuah kebuntuan dalam negosiasi dapat diselesaikan. Hal ini terjadi karena salah satu pihak dapat memberikan kredibilitasnya untuk meyakinkan pihak lain untuk maju mencapai kesepakatan.
KTT yang telah berakhir kemarin membutuhkan langkah lanjut dari kedua belah pihak. Hal ini tidak mudah terutama dari sisi AS, karena beberapa saat lagi akan dilakukan mid-term election (pemilu sela) untuk memilih anggota Kongres.
Kongres juga sedang melakukan dengar pendapat terkait dugaan Rusia mencampuri pemilu di AS. Pihak AS telah mengindikasikan 12 intelijen Rusia, 13 orang berkewarganegaraan Rusia, dan 3 perusahaan terlibat dalam intervensi, khususnya surel dari Partai Demokrat pada pemilu 2016 yang lalu.
Putin sendiri sudah menawarkan kerja sama untuk menyelidiki mereka sebagai bagian dari upaya untuk mengklarifikasi ketidakterlibatan mereka dalam aksi tersebut. Fakta-fakta tersebut akan menjadi penghambat utama dari upaya untuk menormalisasi hubungan AS-Rusia yang selama ini berada di titik paling bawah hubungan diplomasi. (poe)
Sumber: https://nasional.sindonews.com