Poltak Partogi Nainggolan : Mimpi Parlemen Modern

Poltak Partogi Nainggolan
Penulis menyelesaikan studi doktoral di Albert-Ludwigs-Universitaet Freiburg, Jerman

PIMPINAN DPR akhir-akhir ini semakin sering menyuara­kan cita-cita men­jadikan DPR sebagai parlemen modern. Ini direncanakan me-lalui beberapa langkah. Pertama, menjalankan prinsip tran­spa­ransi, yakni dengan membuka akses informasi seluas-luasnya kepada masyarakat melalui sarana pengaduan lewat laman DPR. Kedua, menggunakan teknologi informasi. Artinya kinerja DPR akan beralih dari manual ke digital sehingga rapat akan menerapkan sistem paperless  dengan penggunaan email. Ketiga, menekankan representasi rakyat, dengan memperkuat daerah pemilihan dan rumah aspirasi yang dapat digunakan untuk menghimpun masukan bagi DPR
Selanjutnya keempat, me­laku­kan penguatan legislasi dengan membangun law center  yang disamakan dengan Badan Legislasi DPR. Kelima, melaku­kan peningkatan sarana dan prasarana melalui pembuatan grand design  gedung DPR Ter­kait ini, DPR telah meren­cana­kan membangun tujuh proyek, yaitu museum dan perpustaka­an, alun-alun demokrasi, akses bagi tamu ke gedung DPR, visitor center, pusat kajian, ruang anggota dan tenaga ahli, serta integrasi tempat tinggal dan tempat kerja anggota DPR. Se­m­uanya diper­kirakan me­nelan biaya Rp1,6 triliun. Keenam, menjalankan reformasi sistem pendukung dengan men­trans­for­masi kepe­gawaian Setjen DPR menjadi pegawai parlemen yang cakap. Terakhir, mengem­bangkan TV parlemen menjadi TV siaran publik sehingga ke­giatan DPR kian terkomuni­kasi­kan luas. Namun, pertanya­annya, apakah langkah-lang­kah yang dijalan­kan menuju parlemen modern sudah tepat?

Realitas DPR 

Parlemen sebagai organisasi modern bermakna sebagai institusi politik (Farazmand, 2002). Sebagai organisasi mo­dern, parlemen menerapkan ciri-ciri administrasi modern agar dapat menjadi lembaga demokratis sebagaimana di­harapkan publik. Sementara salah satu ciri parlemen modern ditandai oleh diterapkannya Information and Communication Technologies  (ICT) atau e-par­lemen dalam kerja sehari-hari. Namun, sangat ironis, langkah menuju parlemen modern cenderung pada pembangunan proyek fisik, terutama apa yang disebut alun-alun demokrasi, museum, perpustakaan, dan rumah anggota DPR yang ter­integrasi dengan kantor, ter­masuk rumah aspirasi. Ide ini pun patut dipertanyakan, sebab tugas dan fungsi DPR seha­rus­nya selesai dilaksanakan dalam komisi-komisi dengan dukung­a­n birokrasi parlemen dan tenaga ahli yang andal.

Dari pembangunan proyek fisik yang sudah dilakukan DPR, perubahan juga belum mun­cul. Saat ini DPR telah memiliki laman sendiri, tetapi menu le­gislasinya hanya menampilkan nas­kah undang-undang tan­pa dilengkapi dokumen­tasi legis­lasi lengkap. Setiap ang­gota DPR juga telah diberi­kan alamat surel (email), tetapi belum se­luruh anggota DPR meng­guna­kan surel itu. Hadir­nya surel dan teknologi canggih ternyata tidak mengurangi frekuensi tatap muka langsung anggota parlemen dengan konstituen. Hubungan lebih banyak dilaku­kan dengan kun­jungan kerja (kunker) yang fre­kuensinya terus meningkat dan pasti me­nyita anggaran negara, sekali­pun belum tentu ada urgensinya.

Begitu banyak jenis kunker DPR sekarang sehingga mereka sulit bisa hadir dan konsentrasi pada kerja utama legislasi. Untuk kunker dalam negeri dikenal beberapa jenis. Ada kunker perseorangan yang terdiri dari kunker ke daerah, kunker masa reses, kunker sesuai Tata Tertib; kunker 1 kali setahun, kunker spesifik, inspeksi mendadak, dan kun­ker untuk sosialisasi undang-undang. Jenis kunker per­se­orang­an sesuai Tata Tertib meningkat dari 5 kali dalam satu tahun menjadi 6 kali dan dilaksanakan bisa 3 hari. Tercatat, masih ada kunker per­se­orangan 1 kali dalam satu ta­hun, yang bisa di­la­ku­kan sampai 5 hari.

Frekuensi kunker per­se­orangan dalam masa reses yang semula 4 kali setahun menjadi 5 kali setahun serta dilaksanakan bisa sampai 9 hari. Di luar itu pun, masih ada kunker kelompok di dalam negeri. Lebih hebat lagi, untuk kunker 5 kali ke dapil dalam setahun, untuk setiap kunker, setiap anggota DPR diberikan uang komunikasi sebesar Rp150 juta!

Tidak Berubah

Terkait sarana kerja, per­leng­kapan komputer untuk se­tiap anggota DPR sudah di­pe­nuhi. Koneksi jaringan LAN sudah meng­gunakan fiber optic  dari core switch  ke backbone  di setiap gedung. Sistem infor­masi telah dibangun de­ngan men­cip­ta­kan  berbagai aplikasi yang berguna dalam me­nun­jang tugas me­reka dan pegawai di kesekre­tariat­an. Sampai 2014 sudah ada 40 apli­kasi TI sudah di­bangun. Namun sekali lagi, ha­dir­nya teknologi belum meng­ubah budaya kerja mereka se­hing­ga yang tampak adalah pem­borosan keuangan negara. Tek­no­­logi diadopsi, tapi praktik kerja masih meng­guna­kan cara-cara lama tidak efisien. Ini ter­lihat dari masih diper­gunakan­nya kertas sebagai media utama dalam me­nunjang kerja para legislator.

Bagaimana dengan refor­masi birokrasinya? Ide me­mi­sah­­kan pegawai DPR dengan pegawai kemen­teri­an/lem­baga lainnya muncul hanya karena argumentasi prejudis, yakni hadirnya pegawai yang loyal kepada DPR, bukan kepada pemerintah. UU ASN (Apa­ra­tur Sipil Ne­gara) te­lah memberi pesan bahwa seluruh apa­ratur negara, yang tetap mau­pun tidak me­rupa­kan aparatur sipil yang memiliki integritas, profesio­nal­isme, netralitas, dan bebas dari inter­vensi politik serta bersih dari praktik KKN. Maknanya, se­lu­­ruh aparatur sipil, di mana pun ditem­pat­kan, di lembaga legis­latif, eksekutif, mau­pun yudikatif, harus memiliki prinsip-prinsip itu. Se­dang­kan pemisahan apa­ra­tur sipil di masing-masing pe­megang kekuasaan bisa meng­hambat bureaucratic sublation  atau terciptanya birokrasi par­lemen yang setara kemam­pu­annya dengan birokrasi pemerintah.

Selain soal kepegawaian, langkah harus diambil untuk reformasi sistem pendukung adalah menempatkan orang yang profesional di bidangnya. Namun yang terjadi, muncul­nya Badan Keahlian DPR dalam UU MD3 tidak direspons de­ngan baik oleh pimpinan DPR. Penempatan orang yang duduk sebagai kepala badan tidak dilakukan melalui mekanisme lelang terbuka oleh panitia seleksi independen, bukan internal, seperti diatur UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Komisi Aparatur Sipil Negara tidak berdaya meng­hadapi te­kanan DPR sehingga mem­biar­kan pelanggaran UU ASN. Padahal DPR sebagai penggagas UU ASN seharusnya menjadi teladan bagi instansi lainnya dalam pelaksanaan UU. Ini kian memperlihatkan bahwa trans­formasi menuju parlemen modern belum ter­jadi. Padahal dalam masya­ra­kat modern, per­ubahan se­ha­rus­nya dile­mbaga­kan (Caiden, 1969).

Mimpi mewujudkan DPR se­bagai parlemen modern tidak­lah buruk, tapi mewu­jud­kannya bukan sekadar meng­hadirkan alat dan teknologi serta besar­nya anggaran yang dimiliki. Sebab, seperti dikata­kan Martin Chungong, “Techno­logy is a means, not an end in itself...It will not fix processes that do not work. It is complement, not a substitute...”  Dengan begitu, tanpa perubahan kepemim­pin­an dan komitmen, parlemen modern tinggal mimpi!.(mhd)

Sumber: nasional.sindonews.com

Post a Comment

Previous Post Next Post