Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
HOAKS atau berita palsu tidak hanya menciptakan masyarakat yang terbelah, tetapi juga dapat menyebabkan bencana kemanusiaan yang sangat besar. Hal ini terjadi 15 tahun lalu, ketika negara-negara yang menyebut diri mereka demokratis menginvasi Irak dan mengabaikan seruan dunia untuk mendahulukan proses negosiasi.
Peristiwa tersebut masih sangat relevan untuk kita ingat saat ini karena panggung politik internasional penuh dengan rekayasa yang semakin canggih.
Pada 20 Maret 2003 Amerika Serikat (AS) dan Inggris mendeklarasikan perang untuk menguasai Irak. Menteri Pertahanan AS saat itu, Collin Powel, meyakinkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa Irak menyimpan senjata pemusnah massal yang membahayakan dunia dan AS.
Pernyataan Collin Powel itu berasal dari 93 halaman laporan internal intelijen CIA yang dikenal dengan nama National Intelligence Estimate (NES). AS juga menuduh Presiden Irak Saddam Hussein bekerja sama dengan Al-Qaeda dalam merancang gerakan terorisme internasional.
Meskipun tidak direstui oleh Dewan Keamanan PBB, AS dan Inggris tidak peduli dan terus melanjutkan rencana mereka. AS berhasil masuk ke wilayah Irak pada 9 Maret 2003. Mereka kemudian merobohkan patung Saddam Hussein dan menancapkan bendera AS sebagai simbol kemenangan.
Jumlah penduduk Irak yang meninggal akibat invasi tersebut bervariasi versinya, dari angka yang konservatif, yaitu 600.000 orang menurut Lancet, sebuah jurnal penelitian medis, hingga 1,3 juta orang menurut Opinion Research Business, sebuah lembaga survei berbasis di London. Jumlah tentara AS yang meninggal waktu itu 4.497.
Beberapa tahun kemudian dokumen NES yang bersifat rahasia dibuka untuk umum. Beberapa jurnalis dapat menemukan salinan yang lengkap dan kemudian membanding-bandingkan dengan apa yang dipegang oleh Pemerintah AS ketika memutuskan melakukan invasi.
Para jurnalis ternyata tidak menemukan pernyataan yang meyakinkan bahwa Irak memiliki kemampuan dan memproduksi senjata massal yang dimaksud AS. Laporan itu bahkan mengatakan tidak pasti apakah Irak memiliki senjata pemusnah massal yang dimaksud dan memiliki kaitan dengan Al-Qaeda.
Parlemen Inggris pun menyelidiki keterlibatan Inggris dalam Invasi itu. Sir John Chilcot yang memimpin penyelidikan dan namanya kemudian dijadikan judul laporan tersebut—Chilcot Report—menemukan bahwa Pemerintah Inggris yang saat itu dipimpin Perdana Menteri Tony Blair telah melakukan keteledoran dan gegabah.
Tidak ada dasar yang kuat untuk melakukan invasi karena informasinya tidak konsisten dan tidak dapat diverifikasi. Akibat laporan itu, PM Tony Blair digugat ke pengadilan, walaupun akhirnya dapat bebas karena kebijakan negara tidak bisa diadili.
Legitimasi Invansi
Keinginan pemimpin atau sebuah negara untuk melakukan invasi tidak pernah selalu sama. Hal ini tampak dalam kasus invasi ke Irak tahun 2003. Kita belum atau mungkin tidak dapat mengetahui secara pasti motivasi yang mendorong invasi.
Hal yang dapat saya ingat, kebetulan saat itu terjadi saya ada di AS, suasana publik digalang untuk terus membicarakan perlunya mencegah terorisme sebelum terjadi lagi serangan ke AS. Kepercayaan publik dibangun untuk melegitimasi langkah penyerangan sesegera mungkin untuk menundukkan teroris.
Danju, Maasoglu, dan Nahide memetakan setidaknya tiga analisis. Pertama adalah analisa realist yang meyakini bahwa AS merasa tidak aman setelah serangan teroris 9/11 dan dalam sistem internasional yang bersifat anarkistis maka tidak ada otoritas pusat, termasuk PBB, yang dapat menjamin keamanan AS. Karena itu, setiap negara perlu memaksimalkan kekuatan militer dan kekuatan yang relatif dapat digunakan sebagai sarana untuk bertahan hidup dalam sistem anarkistis itu.
AS kemudian mulai mengembangkan dan memfokuskan konsep Pre-Emptive Strike, yaitu mengeliminasi ancaman-ancaman dari luar sebelum ancaman itu menjadi kenyataan. Diplomasi hard-power bukanlah pilihan, tetapi langkah yang wajib dilakukan, meskipun tidak memiliki dasar yang kuat. Risiko itu perlu diambil daripada mengambil risiko yang lebih berat.
Beberapa tokoh di belakang kebijakan invasi AS ke Irak 2003 yang memiliki pemikiran seperti ini antara lain adalah John Bolton. Ia bekerja sebagai Sekretaris Negara untuk Pengendalian Senjata dan Keamanan Internasional pada masa invasi dan sekarang menjadi penasihat kemananan untuk Presiden Donald Trump. Hawkish adalah label yang umumnya disematkan kepada mereka yang memilih berperang untuk menciptakan perdamaian.
Tidak semua negara, khususnya negara Barat, setuju atau setuju untuk melakukan invasi tetapi dengan berbagai syarat. Umumnya pandangan ideologis mereka masuk dalam pemikiran liberal.
Pemikiran liberal yang diinspirasi oleh Immanuel Kant meyakini adanya sistem harmonis di antara berbagai kepentingan di dunia. Mereka memandang bahwa perselisihan bisa menjadi potensi perang karena institusi atau lembaga yang mengatur hubungan antara negara berjalan tidak sempurna atau tidak lagi sesuai dengan zamannya.
Dua tahun sebelum invasi, Organization for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) mengundang Irak dan Libya untuk ikut program pemantauan agar mereka bisa bebas dari tuduhan menyimpan senjata pemusnah massal. Dalam proses itu, OPCW sempat datang ke Irak di tahun 2001, kemudian melaporkan bahwa Iran tidak memiliki fasilitas itu. Namun, upaya konstruktif itu tidak berlanjut lama karena proses invasi tersebut.
Negara-negara Eropa juga terbelah dalam keputusan mereka dengan alasannya masing-masing. Spanyol setuju untuk perang sementara Prancis dan Jerman, Belgia, dan Luksemburg menolak invasi tanpa ada bukti nyata. Turki khawatir perang akan menyebabkan Kurdi bersatu dan membuat keamanaan Turki terancam.
Beberapa negara liberal yang menyetujui perang, tetapi dengan syarat-syarat tertentu, memiliki pandangan bahwa Saddam Hussein memang perlu disingkirkan karena sepak terjang selama memerintah sudah banyak melakukan pelanggaran HAM. Menyingkirkan Saddam Hussein dan menggantikannya dengan rezim yang prodemokrasi akan membuat lebih baik Kawasan Teluk.
Kecurigaan lain yang mungkin menjadi dasar dari invasi adalah motivasi untuk menguasai sumber daya Irak seperti yang dikemukakan analisis Marxis. Marxis menyiratkan bahwa perang di Irak adalah perang untuk menguasai sumber daya alam, minyak, untuk pasar baru.
Invasi AS ke Irak adalah sifat dari sifat negara kapitalis besar yang mencari pasar baru. Pembukaan pasar dapat berhasil apabila sistem politik di Irak tidak lagi dikuasai oleh satu orang, tetapi menjadi lebih liberal, melalui pembangunan sistem demokrasi liberal versi Barat yang akan melayani kepentingan politik dan ekonomi Barat dan tentu saja itu dari AS.
Pengalaman invasi ke Irak dapat menjadi pedoman kita untuk menilai fenomena yang terjadi saat ini. Perang di Suriah menjadi semakin tajam ketika ditemukan penggunaan senjata kimia di kota Khan Sheikhoun, bagian utara Suriah. Pihak Suriah, Rusia, Iran, AS, Uni-Eropa, Israel, Turki, dan PBB saling menuduh pihak lawannya menggunakan senjata mematikan tersebut.
Di Inggris, peristiwa keracunan dua warga Rusia oleh zat beracun menimbulkan krisis diplomatik antara Rusia dan negara- negara Uni-Eropa. Kejadian-kejadian tersebut sangat pelik dan sulit untuk diketahui atau sukar membuktikan siapa dalangnya karena selain secara teknis tak dapat melakukan investigasi karena situasi yang masih panas, dukungan politik di tingkat internasional juga tidak bulat.
Dari pengalaman Irak, kita harus tetap kritis dan mengikuti prosedur menjaga perdamaian agar tidak terjebak dalam situasi yang merugikan di masa depan.(poe)
Repost dari Nasional.Sindonews.com
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
HOAKS atau berita palsu tidak hanya menciptakan masyarakat yang terbelah, tetapi juga dapat menyebabkan bencana kemanusiaan yang sangat besar. Hal ini terjadi 15 tahun lalu, ketika negara-negara yang menyebut diri mereka demokratis menginvasi Irak dan mengabaikan seruan dunia untuk mendahulukan proses negosiasi.
Peristiwa tersebut masih sangat relevan untuk kita ingat saat ini karena panggung politik internasional penuh dengan rekayasa yang semakin canggih.
Pada 20 Maret 2003 Amerika Serikat (AS) dan Inggris mendeklarasikan perang untuk menguasai Irak. Menteri Pertahanan AS saat itu, Collin Powel, meyakinkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa Irak menyimpan senjata pemusnah massal yang membahayakan dunia dan AS.
Pernyataan Collin Powel itu berasal dari 93 halaman laporan internal intelijen CIA yang dikenal dengan nama National Intelligence Estimate (NES). AS juga menuduh Presiden Irak Saddam Hussein bekerja sama dengan Al-Qaeda dalam merancang gerakan terorisme internasional.
Meskipun tidak direstui oleh Dewan Keamanan PBB, AS dan Inggris tidak peduli dan terus melanjutkan rencana mereka. AS berhasil masuk ke wilayah Irak pada 9 Maret 2003. Mereka kemudian merobohkan patung Saddam Hussein dan menancapkan bendera AS sebagai simbol kemenangan.
Jumlah penduduk Irak yang meninggal akibat invasi tersebut bervariasi versinya, dari angka yang konservatif, yaitu 600.000 orang menurut Lancet, sebuah jurnal penelitian medis, hingga 1,3 juta orang menurut Opinion Research Business, sebuah lembaga survei berbasis di London. Jumlah tentara AS yang meninggal waktu itu 4.497.
Beberapa tahun kemudian dokumen NES yang bersifat rahasia dibuka untuk umum. Beberapa jurnalis dapat menemukan salinan yang lengkap dan kemudian membanding-bandingkan dengan apa yang dipegang oleh Pemerintah AS ketika memutuskan melakukan invasi.
Para jurnalis ternyata tidak menemukan pernyataan yang meyakinkan bahwa Irak memiliki kemampuan dan memproduksi senjata massal yang dimaksud AS. Laporan itu bahkan mengatakan tidak pasti apakah Irak memiliki senjata pemusnah massal yang dimaksud dan memiliki kaitan dengan Al-Qaeda.
Parlemen Inggris pun menyelidiki keterlibatan Inggris dalam Invasi itu. Sir John Chilcot yang memimpin penyelidikan dan namanya kemudian dijadikan judul laporan tersebut—Chilcot Report—menemukan bahwa Pemerintah Inggris yang saat itu dipimpin Perdana Menteri Tony Blair telah melakukan keteledoran dan gegabah.
Tidak ada dasar yang kuat untuk melakukan invasi karena informasinya tidak konsisten dan tidak dapat diverifikasi. Akibat laporan itu, PM Tony Blair digugat ke pengadilan, walaupun akhirnya dapat bebas karena kebijakan negara tidak bisa diadili.
Legitimasi Invansi
Keinginan pemimpin atau sebuah negara untuk melakukan invasi tidak pernah selalu sama. Hal ini tampak dalam kasus invasi ke Irak tahun 2003. Kita belum atau mungkin tidak dapat mengetahui secara pasti motivasi yang mendorong invasi.
Hal yang dapat saya ingat, kebetulan saat itu terjadi saya ada di AS, suasana publik digalang untuk terus membicarakan perlunya mencegah terorisme sebelum terjadi lagi serangan ke AS. Kepercayaan publik dibangun untuk melegitimasi langkah penyerangan sesegera mungkin untuk menundukkan teroris.
Danju, Maasoglu, dan Nahide memetakan setidaknya tiga analisis. Pertama adalah analisa realist yang meyakini bahwa AS merasa tidak aman setelah serangan teroris 9/11 dan dalam sistem internasional yang bersifat anarkistis maka tidak ada otoritas pusat, termasuk PBB, yang dapat menjamin keamanan AS. Karena itu, setiap negara perlu memaksimalkan kekuatan militer dan kekuatan yang relatif dapat digunakan sebagai sarana untuk bertahan hidup dalam sistem anarkistis itu.
AS kemudian mulai mengembangkan dan memfokuskan konsep Pre-Emptive Strike, yaitu mengeliminasi ancaman-ancaman dari luar sebelum ancaman itu menjadi kenyataan. Diplomasi hard-power bukanlah pilihan, tetapi langkah yang wajib dilakukan, meskipun tidak memiliki dasar yang kuat. Risiko itu perlu diambil daripada mengambil risiko yang lebih berat.
Beberapa tokoh di belakang kebijakan invasi AS ke Irak 2003 yang memiliki pemikiran seperti ini antara lain adalah John Bolton. Ia bekerja sebagai Sekretaris Negara untuk Pengendalian Senjata dan Keamanan Internasional pada masa invasi dan sekarang menjadi penasihat kemananan untuk Presiden Donald Trump. Hawkish adalah label yang umumnya disematkan kepada mereka yang memilih berperang untuk menciptakan perdamaian.
Tidak semua negara, khususnya negara Barat, setuju atau setuju untuk melakukan invasi tetapi dengan berbagai syarat. Umumnya pandangan ideologis mereka masuk dalam pemikiran liberal.
Pemikiran liberal yang diinspirasi oleh Immanuel Kant meyakini adanya sistem harmonis di antara berbagai kepentingan di dunia. Mereka memandang bahwa perselisihan bisa menjadi potensi perang karena institusi atau lembaga yang mengatur hubungan antara negara berjalan tidak sempurna atau tidak lagi sesuai dengan zamannya.
Dua tahun sebelum invasi, Organization for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) mengundang Irak dan Libya untuk ikut program pemantauan agar mereka bisa bebas dari tuduhan menyimpan senjata pemusnah massal. Dalam proses itu, OPCW sempat datang ke Irak di tahun 2001, kemudian melaporkan bahwa Iran tidak memiliki fasilitas itu. Namun, upaya konstruktif itu tidak berlanjut lama karena proses invasi tersebut.
Negara-negara Eropa juga terbelah dalam keputusan mereka dengan alasannya masing-masing. Spanyol setuju untuk perang sementara Prancis dan Jerman, Belgia, dan Luksemburg menolak invasi tanpa ada bukti nyata. Turki khawatir perang akan menyebabkan Kurdi bersatu dan membuat keamanaan Turki terancam.
Beberapa negara liberal yang menyetujui perang, tetapi dengan syarat-syarat tertentu, memiliki pandangan bahwa Saddam Hussein memang perlu disingkirkan karena sepak terjang selama memerintah sudah banyak melakukan pelanggaran HAM. Menyingkirkan Saddam Hussein dan menggantikannya dengan rezim yang prodemokrasi akan membuat lebih baik Kawasan Teluk.
Kecurigaan lain yang mungkin menjadi dasar dari invasi adalah motivasi untuk menguasai sumber daya Irak seperti yang dikemukakan analisis Marxis. Marxis menyiratkan bahwa perang di Irak adalah perang untuk menguasai sumber daya alam, minyak, untuk pasar baru.
Invasi AS ke Irak adalah sifat dari sifat negara kapitalis besar yang mencari pasar baru. Pembukaan pasar dapat berhasil apabila sistem politik di Irak tidak lagi dikuasai oleh satu orang, tetapi menjadi lebih liberal, melalui pembangunan sistem demokrasi liberal versi Barat yang akan melayani kepentingan politik dan ekonomi Barat dan tentu saja itu dari AS.
Pengalaman invasi ke Irak dapat menjadi pedoman kita untuk menilai fenomena yang terjadi saat ini. Perang di Suriah menjadi semakin tajam ketika ditemukan penggunaan senjata kimia di kota Khan Sheikhoun, bagian utara Suriah. Pihak Suriah, Rusia, Iran, AS, Uni-Eropa, Israel, Turki, dan PBB saling menuduh pihak lawannya menggunakan senjata mematikan tersebut.
Di Inggris, peristiwa keracunan dua warga Rusia oleh zat beracun menimbulkan krisis diplomatik antara Rusia dan negara- negara Uni-Eropa. Kejadian-kejadian tersebut sangat pelik dan sulit untuk diketahui atau sukar membuktikan siapa dalangnya karena selain secara teknis tak dapat melakukan investigasi karena situasi yang masih panas, dukungan politik di tingkat internasional juga tidak bulat.
Dari pengalaman Irak, kita harus tetap kritis dan mengikuti prosedur menjaga perdamaian agar tidak terjebak dalam situasi yang merugikan di masa depan.(poe)
Repost dari Nasional.Sindonews.com
Tags:
Opini