PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang (RUU) Antiterorisme masih mandek di DPR. Salah satu penyebabnya adalah tingginya kontestasi antara polisi dan militer dalam merespons ancaman terorisme. Tidak dapat dipungkiri, peran Polri dan TNI itu tidak bisa diabaikan sejak aksi terorisme masih direncanakan, sedang dilancarkan, dan telah selesai dilakukan. Persoalan yang muncul sekarang, institusi mana yang akan menjadi leading sector dan harus memimpin operasi antiterorisme?
Dalam RUU Antiterorisme, sejak panitia khusus (PANSUS) dibentuk dan rapat-rapat panitia kerja (panja) digelar, kontestasi berlangsung di balik layar saat kubu pemerintah mempersiapkan naskah RUU. TNI merasa ditinggalkan dalam penyiapan naskah, sementara Polri jalan terus karena merasa ini domain mereka berkaitan dengan implementasi supremasi sipil. Sedangkan komunikasi politik internal melalui menko polhukam tidak berjalan sehingga keresahan tersingkap. Diakui atau tidak, perang dingin telah berlangsung antara dua instansi pemerintah itu seperti tercermin dari pernyataan petinggi mereka yang keluar di media massa.
Kontestasi tampak dari manuver oknum Polri dan TNI yang bergerilya melobi pimpinan dan anggota Pansus RUU Antiterorisme, serta ke fraksi-fraksi di Gedung DPR, jauh sebelum pembahasan dimulai. Pada awal 2018 Panglima TNI ikut turun tangan dengan melayangkan surat ke Pansus RUU menjelang pembahasan bagian akhir RUU ini. Ada yang menilai langkah itu blunder karena dianggap upaya pressure. Seharusnya, perbedaan pendapat di antara pemangku kepentingan pemerintah dapat diselesaikan secara internal.
Pasca-1998, Polri dan TNI tidak punya wakil khusus atau fraksi di parlemen seperti pada masa Orde Baru. Tetapi, pembahasan RUU dapat terganggu akibat pressure tidak langsung oleh wacana yang berkembang di media massa. Deadlock dan upaya menghindari pembicaraan pasal krusial TNI akhirnya beberapa kali menjadi solusi akibat ketidakmampuan juru bicara pemerintah menjembatani perbedaan di antara mereka. Akibat itu, hingga kini RUU sulit dituntaskan menjadi UU.
Model Mana?
Belajar dari pengalaman berbagai negara, ditemukan dua jenis pendekatan dalam perang melawan terorisme. Pertama, criminal justice system yang diterapkan di Eropa seperti Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, dan lain-lain. Negara-negara ini sangat beradab dan teratur dengan sistem politik stabil. Kedua, war model, dipakai di negara-negara Timur Tengah dengan situasi anarki, darurat militer, dan sistem politik dan demokrasi yang belum terkonsolidasi. Contohnya yang diterapkan rezim Assad di Suriah dalam menghadapi ISIS, selain juga oleh Afghanistan, Mesir, dan Pakistan. Pendekatan ini sejalan dengan watak otoriterisme pemerintahannya.
Di antara dua model itu, ada yang menggunakan pendekatan kombinasi, di tingkat domestik dan luar wilayahnya. Pendekatan ketiga ini dipakai Amerika Serikat dengan kapasitas aparat pertahanan keamanannya yang tinggi sebagai negara adidaya. Di dalam negeri, polisi SWAT memegang kendali, kecuali jika kewalahan, seperti dalam 9/11, militer turun tangan. Sedangkan dalam misi ekspedisi seberang lautan, pasukan khusus seperti marinir, SEAL, Delta, dan Green Baret menjadi tulang punggung di lapangan.
Dalam pendekatan pertama, penerapan hukum, terutama pidana, dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) sangat berperan. Karena itulah, aparat kepolisian memegang peran utama dan dominan. Sedangkan dalam pendekatan kedua, militer lebih menentukan dan dominan dalam mengatasi ancaman terorisme. Nilai-nilai HAM bisa dikebelakangkan, mengingat keamanan nasional harus diprioritaskan, dan negara harus diselamatkan. Sementara dalam pendekatan ketiga, terdapat pembagian kerja yang disesuaikan dengan medan dan sifat ancaman dan kesulitannya. Konstitusi dan hukum bisa dikompromikan.
Penyebab Kontestasi
Kontestasi antara Polri dan TNI tidak luput dari kompetisi kepentingan. Masalahnya, selama ini terdapat kekeliruan dalam reformasi sektor keamanan karena tidak konsisten dan tuntas mengikuti prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi. Polri telah ditempatkan secara istimewa langsung di bawah Presiden, tidak di bawah sebuah kementerian seperti Kementerian Kehakiman atau Kementerian Dalam Negeri. Sedangkan TNI telah ditempatkan di bawah Kementerian Pertahanan. Selain itu, promosi di TNI tidak berjalan lancar sehingga menghadapi penumpukan perwira, yang seret mobilitas jabatan dan kepangkatan (Laksmana, 2017). Dengan demikian, TNI tergoda kembali ke fungsi lama di ranah sipil, yaitu teritorial, seperti menjaga bandara dan stasiun, dan bahkan, terjun ke pertanian.
Pembuatan RUU Antiterorisme yang mengabaikan sama sekali peran TNI dapat mendorong militer muncul sebagai peace spoiler. RUU semacam ini akan membuat TNI semakin merasa terpinggirkan dan terisolasi. Padahal, setiap matra TNI selama ini memiliki satuan-satuan antiteror, yang siap digunakan, dan selalu berlatih rutin dengan biaya tinggi, yakni Kopassus, Denjaka, dan Den Bravo.
Kekhawatiran atas peran TNI yang kebablasan dapat diatasi dengan kehadiran institusi yang dapat mengoordinasikannya, yaitu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang tetap boleh dipimpin Polri, bahkan sipil sekalipun, asal memiliki kecakapan yang dibutuhkan. Dengan prinsip pembagian tugas yang tepat, kontestasi dapat diatasi: Polri melakukan investigasi dan penyidikan yang bukan ranah militer, dan penindakan sebatas masih mampu menghadapinya di medan-medan yang tidak sulit, dan masih dapat diatasi, serta bukan di mancanegara.
TNI bisa sejak dini terlibat dalam pencegahan, dengan peran sharing informasi dalam mendukung intelijen Polri, tetapi tidak dalam penyidikan dan penangkapan yang bukan ranahnya. Secara akal sehat seharusnya dapat dipahami, tanpa RUU Antiterorisme ini, peran TNI dalam war on terror sudah dijamin Pasal 7 ayat 2 UU TNI Nomor 34/2004. Tetapi, tampaknya TNI belum percaya diri dan cukup puas dengan perannya di era baru reformasi ini. Dikhawatirkan, RUU Antiterorisme ini akan sulit diselesaikan sehingga dampaknya Indonesia akan semakin berisiko tinggi terhadap ancaman terorisme di masa depan.(wib)
Oleh : Poltak Partogi Nainggolan
Penulis Menyelesaikan Studi Doktoral di Albert-Ludwigs-Universitaet Freiburg, Jerman
Sumber: nasional.sindonews.com
Dalam RUU Antiterorisme, sejak panitia khusus (PANSUS) dibentuk dan rapat-rapat panitia kerja (panja) digelar, kontestasi berlangsung di balik layar saat kubu pemerintah mempersiapkan naskah RUU. TNI merasa ditinggalkan dalam penyiapan naskah, sementara Polri jalan terus karena merasa ini domain mereka berkaitan dengan implementasi supremasi sipil. Sedangkan komunikasi politik internal melalui menko polhukam tidak berjalan sehingga keresahan tersingkap. Diakui atau tidak, perang dingin telah berlangsung antara dua instansi pemerintah itu seperti tercermin dari pernyataan petinggi mereka yang keluar di media massa.
Kontestasi tampak dari manuver oknum Polri dan TNI yang bergerilya melobi pimpinan dan anggota Pansus RUU Antiterorisme, serta ke fraksi-fraksi di Gedung DPR, jauh sebelum pembahasan dimulai. Pada awal 2018 Panglima TNI ikut turun tangan dengan melayangkan surat ke Pansus RUU menjelang pembahasan bagian akhir RUU ini. Ada yang menilai langkah itu blunder karena dianggap upaya pressure. Seharusnya, perbedaan pendapat di antara pemangku kepentingan pemerintah dapat diselesaikan secara internal.
Pasca-1998, Polri dan TNI tidak punya wakil khusus atau fraksi di parlemen seperti pada masa Orde Baru. Tetapi, pembahasan RUU dapat terganggu akibat pressure tidak langsung oleh wacana yang berkembang di media massa. Deadlock dan upaya menghindari pembicaraan pasal krusial TNI akhirnya beberapa kali menjadi solusi akibat ketidakmampuan juru bicara pemerintah menjembatani perbedaan di antara mereka. Akibat itu, hingga kini RUU sulit dituntaskan menjadi UU.
Model Mana?
Belajar dari pengalaman berbagai negara, ditemukan dua jenis pendekatan dalam perang melawan terorisme. Pertama, criminal justice system yang diterapkan di Eropa seperti Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, dan lain-lain. Negara-negara ini sangat beradab dan teratur dengan sistem politik stabil. Kedua, war model, dipakai di negara-negara Timur Tengah dengan situasi anarki, darurat militer, dan sistem politik dan demokrasi yang belum terkonsolidasi. Contohnya yang diterapkan rezim Assad di Suriah dalam menghadapi ISIS, selain juga oleh Afghanistan, Mesir, dan Pakistan. Pendekatan ini sejalan dengan watak otoriterisme pemerintahannya.
Di antara dua model itu, ada yang menggunakan pendekatan kombinasi, di tingkat domestik dan luar wilayahnya. Pendekatan ketiga ini dipakai Amerika Serikat dengan kapasitas aparat pertahanan keamanannya yang tinggi sebagai negara adidaya. Di dalam negeri, polisi SWAT memegang kendali, kecuali jika kewalahan, seperti dalam 9/11, militer turun tangan. Sedangkan dalam misi ekspedisi seberang lautan, pasukan khusus seperti marinir, SEAL, Delta, dan Green Baret menjadi tulang punggung di lapangan.
Dalam pendekatan pertama, penerapan hukum, terutama pidana, dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) sangat berperan. Karena itulah, aparat kepolisian memegang peran utama dan dominan. Sedangkan dalam pendekatan kedua, militer lebih menentukan dan dominan dalam mengatasi ancaman terorisme. Nilai-nilai HAM bisa dikebelakangkan, mengingat keamanan nasional harus diprioritaskan, dan negara harus diselamatkan. Sementara dalam pendekatan ketiga, terdapat pembagian kerja yang disesuaikan dengan medan dan sifat ancaman dan kesulitannya. Konstitusi dan hukum bisa dikompromikan.
Penyebab Kontestasi
Kontestasi antara Polri dan TNI tidak luput dari kompetisi kepentingan. Masalahnya, selama ini terdapat kekeliruan dalam reformasi sektor keamanan karena tidak konsisten dan tuntas mengikuti prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi. Polri telah ditempatkan secara istimewa langsung di bawah Presiden, tidak di bawah sebuah kementerian seperti Kementerian Kehakiman atau Kementerian Dalam Negeri. Sedangkan TNI telah ditempatkan di bawah Kementerian Pertahanan. Selain itu, promosi di TNI tidak berjalan lancar sehingga menghadapi penumpukan perwira, yang seret mobilitas jabatan dan kepangkatan (Laksmana, 2017). Dengan demikian, TNI tergoda kembali ke fungsi lama di ranah sipil, yaitu teritorial, seperti menjaga bandara dan stasiun, dan bahkan, terjun ke pertanian.
Pembuatan RUU Antiterorisme yang mengabaikan sama sekali peran TNI dapat mendorong militer muncul sebagai peace spoiler. RUU semacam ini akan membuat TNI semakin merasa terpinggirkan dan terisolasi. Padahal, setiap matra TNI selama ini memiliki satuan-satuan antiteror, yang siap digunakan, dan selalu berlatih rutin dengan biaya tinggi, yakni Kopassus, Denjaka, dan Den Bravo.
Kekhawatiran atas peran TNI yang kebablasan dapat diatasi dengan kehadiran institusi yang dapat mengoordinasikannya, yaitu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang tetap boleh dipimpin Polri, bahkan sipil sekalipun, asal memiliki kecakapan yang dibutuhkan. Dengan prinsip pembagian tugas yang tepat, kontestasi dapat diatasi: Polri melakukan investigasi dan penyidikan yang bukan ranah militer, dan penindakan sebatas masih mampu menghadapinya di medan-medan yang tidak sulit, dan masih dapat diatasi, serta bukan di mancanegara.
TNI bisa sejak dini terlibat dalam pencegahan, dengan peran sharing informasi dalam mendukung intelijen Polri, tetapi tidak dalam penyidikan dan penangkapan yang bukan ranahnya. Secara akal sehat seharusnya dapat dipahami, tanpa RUU Antiterorisme ini, peran TNI dalam war on terror sudah dijamin Pasal 7 ayat 2 UU TNI Nomor 34/2004. Tetapi, tampaknya TNI belum percaya diri dan cukup puas dengan perannya di era baru reformasi ini. Dikhawatirkan, RUU Antiterorisme ini akan sulit diselesaikan sehingga dampaknya Indonesia akan semakin berisiko tinggi terhadap ancaman terorisme di masa depan.(wib)
Oleh : Poltak Partogi Nainggolan
Penulis Menyelesaikan Studi Doktoral di Albert-Ludwigs-Universitaet Freiburg, Jerman
Sumber: nasional.sindonews.com
Tags:
Opini