Faozan Amar
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA dan Direktur Eksekutif
Al Wasath Insitutute
Wacana yang dilontarkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin tentang pembayaran zakat dengan cara memotong gaji pegawai negeri sipil (PNS) muslim menimbulkan polemik. Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melontarkan gagasan tentang perlunya pengelolaan zakat mengikuti pola pengelolaan pajak.
Terkait dengan polemik tersebut, Sri Mulyani mengatakan bahwa di satu sisi, mereka (PNS) ada kewajiban yang berdasarkan kepada kepercayaan agama. Di sisi lain, ada kewajiban juga sebagai institusi untuk membayar pajak. "Kami akan lakukan secara harmonis untuk itu." (SINDOnews.com, 7/2 ).
Ada pihak yang pro dan kontra dalam menanggapi wacana tersebut. Bagi yang pro, alasan yang diajukan adalah negara sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga perlu mencari sumber-sumber keuangan baru untuk membiayai pembangunan.
Jadi, daripada cari utang terus, mengapa tidak mengoptimalkan sumber dana umat yang ada? Sementara pihak yang kontra berargumen bahwa tidak etis dana umat digunakan untuk membangun infrastruktur karena aturan syariah peruntukannya berbeda.
Terlepas dari pro dan kontra atas wacana tersebut, hal yang menarik adalah mulainya dana yang bersumber dari umat Islam, seperti zakat, infak, sedekah, wakaf, dan dana haji dilirik oleh pemerintah.
Tentu hal ini sangat wajar dan beralasan karena tidak terlepas dari besarnya potensi dana umat tersebut yang apabila dapat dikelola dengan baik dan benar akan dapat membantu pemerintah secara langsung dalam membangun infrastruktur yang ada di Indonesia. Apalagi menurut Baznas, potensi zakat di Indonesia mencapai Rp217 triliun.
Zakat Kewajiban Agama
Menurut lisan al-Arab, zakat (al-zakaat ) ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah dan terpuji; semua digunakan dalam Alquran dan hadis. Makna tumbuh dan suci ini tidak hanya diasumsikan pada harta kekayaan, tetapi lebih dari itu, juga untuk jiwa orang yang menzakatkannya (Amar; 2009). Firman Allah "Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka" (QS At Taubah; 103).
Sementara menurut istilah, zakat itu ialah nama suatu ibadah wajib yang dilaksanakan dengan memberikan sejumlah kadar tertentu dari harta milik sendiri kepada orang yang berhak menerimanya menurut yang ditentukan oleh syariat Islam (Amar; 2009). Menurut Qardhawi (2007), zakat dari istilah fikih yang berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak.
Zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam dan disebutkan secara beriringan dengan kata salat pada 82 ayat Alquran. Allah SWT telah menetapkan hukum wajib atas zakat sebagaimana dijelaskan dalam Alquran, sunah Rasul, dan ijma ulama. Hukum menunaikan zakat adalah wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi kriteria.
Pengelolaan Zakat
Dalam sejarahnya, pengelolaan zakat sebelum era 1990-an masih dikelola dengan cara konvensional dan tradisional. Baik dari segi manajemen penghimpunan, pengelolaan (keuangan), maupun dalam pendayagunaannya. Hal ini karena masih terbatasnya kualitas sumber daya manusia, yakni amil yang menjadi pengelola zakat.
Penelitian Chalikhuzi (2009) menemukan beberapa isu utama dalam pengelolaan zakat. Pertama, masih rendahnya pengetahuan zakat yang berakibat ketidakefektifan pengumpulan zakat. Hal ini berimplikasi pada perlunya sosialisasi zakat guna meningkatkan kesadaran dalam membayar zakat.
Kedua, rendahnya tingkat keimanan. Ketiga, adanya perbedaan pandangan tentang fikih zakat. Keempat, aktor transparansi yang masih rendah dari lembaga zakat yang berimplikasi terhadap rendahnya pembayaran zakat pada lembaga zakat.
Menurut Didin Hafidhuddin (2011), untuk menggali potensi zakat, maka ada empat langkah yang dilakukan. Pertama, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Kedua, penguatan amil zakat sehingga menjadi amil yang amanah, tepercaya, dan profesional.
Ketiga, penyaluran zakat yang tepat sasaran sesuai dengan ketentuan syariah dan memperhatikan aspek-aspek manajemen yang transparan. Keempat , sinergi dan koordinasi atau taawun baik antarsesama amil zakat (tingkat daerah, regional, nasional, dan internasional) maupun dengan komponen umat yang lain seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga-lembaga pemerintah, organisasi-organisasi Islam, perguruan tinggi, dan media massa.
Pengelolaan zakat mengalami perkembangan signifikan sejak berdirinya Dompet Dhuafa pada 1992. Ini mengubah pengelolaan zakat dari cara-cara yang konvensional dan tradisional menuju manajemen zakat yang modern, amanah, dan profesional.
Puncaknya dengan lahirnya UU Nomor 38/1999 yang kemudian direvisi lagi menjadi UU Nomor 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat yang di dalamnya mengatur zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Hal ini dapat dilihat dari transparansi dalam pengelolaan zakat, baik dalam menghimpun, mengelola, maupun menyalurkan, amil yang bekerja secara profesional, kantor yang representatif, publikasi di media massa, dan sebagainya.
Jadi, apa yang sekarang diwacanakan oleh Menteri Agama sebenarnya bukan hal baru. Misalnya, PNS muslim di Pemprov DKI Jakarta setiap bulan dipotong 2,5% untuk membayar zakat oleh Bazis DKI. Bahkan, sewaktu Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur, walaupun dia nonmuslim, gajinya dipotong 2,5%.
Kalau zakat yang dibayarkan oleh PNS muslim dihitung sebagai pengurang pajak (tax credit ) seperti di Malaysia yang dibayarkan melalui Pusat Pungutan Zakat (PPZ), saya kira akan banyak yang setuju.
Jika Menteri Agama serius dengan wacananya, benahi dulu regulasinya, yakni dengan mengusulkan ke DPR perubahan UU Pengelolaan Zakat yang mengatur zakat sebagai tax credit dan sanksi bagi yang tidak membayarnya. Tanpa hal itu, maka itu hanya pencitraan dan dampaknya Presiden Joko Widodo akan menjadi sasaran tembak kaum oposisi. Wallahualam.
(maf/sindonews.com)
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA dan Direktur Eksekutif
Al Wasath Insitutute
Wacana yang dilontarkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin tentang pembayaran zakat dengan cara memotong gaji pegawai negeri sipil (PNS) muslim menimbulkan polemik. Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melontarkan gagasan tentang perlunya pengelolaan zakat mengikuti pola pengelolaan pajak.
Terkait dengan polemik tersebut, Sri Mulyani mengatakan bahwa di satu sisi, mereka (PNS) ada kewajiban yang berdasarkan kepada kepercayaan agama. Di sisi lain, ada kewajiban juga sebagai institusi untuk membayar pajak. "Kami akan lakukan secara harmonis untuk itu." (SINDOnews.com, 7/2 ).
Ada pihak yang pro dan kontra dalam menanggapi wacana tersebut. Bagi yang pro, alasan yang diajukan adalah negara sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga perlu mencari sumber-sumber keuangan baru untuk membiayai pembangunan.
Jadi, daripada cari utang terus, mengapa tidak mengoptimalkan sumber dana umat yang ada? Sementara pihak yang kontra berargumen bahwa tidak etis dana umat digunakan untuk membangun infrastruktur karena aturan syariah peruntukannya berbeda.
Terlepas dari pro dan kontra atas wacana tersebut, hal yang menarik adalah mulainya dana yang bersumber dari umat Islam, seperti zakat, infak, sedekah, wakaf, dan dana haji dilirik oleh pemerintah.
Tentu hal ini sangat wajar dan beralasan karena tidak terlepas dari besarnya potensi dana umat tersebut yang apabila dapat dikelola dengan baik dan benar akan dapat membantu pemerintah secara langsung dalam membangun infrastruktur yang ada di Indonesia. Apalagi menurut Baznas, potensi zakat di Indonesia mencapai Rp217 triliun.
Zakat Kewajiban Agama
Menurut lisan al-Arab, zakat (al-zakaat ) ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah dan terpuji; semua digunakan dalam Alquran dan hadis. Makna tumbuh dan suci ini tidak hanya diasumsikan pada harta kekayaan, tetapi lebih dari itu, juga untuk jiwa orang yang menzakatkannya (Amar; 2009). Firman Allah "Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka" (QS At Taubah; 103).
Sementara menurut istilah, zakat itu ialah nama suatu ibadah wajib yang dilaksanakan dengan memberikan sejumlah kadar tertentu dari harta milik sendiri kepada orang yang berhak menerimanya menurut yang ditentukan oleh syariat Islam (Amar; 2009). Menurut Qardhawi (2007), zakat dari istilah fikih yang berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak.
Zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam dan disebutkan secara beriringan dengan kata salat pada 82 ayat Alquran. Allah SWT telah menetapkan hukum wajib atas zakat sebagaimana dijelaskan dalam Alquran, sunah Rasul, dan ijma ulama. Hukum menunaikan zakat adalah wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi kriteria.
Pengelolaan Zakat
Dalam sejarahnya, pengelolaan zakat sebelum era 1990-an masih dikelola dengan cara konvensional dan tradisional. Baik dari segi manajemen penghimpunan, pengelolaan (keuangan), maupun dalam pendayagunaannya. Hal ini karena masih terbatasnya kualitas sumber daya manusia, yakni amil yang menjadi pengelola zakat.
Penelitian Chalikhuzi (2009) menemukan beberapa isu utama dalam pengelolaan zakat. Pertama, masih rendahnya pengetahuan zakat yang berakibat ketidakefektifan pengumpulan zakat. Hal ini berimplikasi pada perlunya sosialisasi zakat guna meningkatkan kesadaran dalam membayar zakat.
Kedua, rendahnya tingkat keimanan. Ketiga, adanya perbedaan pandangan tentang fikih zakat. Keempat, aktor transparansi yang masih rendah dari lembaga zakat yang berimplikasi terhadap rendahnya pembayaran zakat pada lembaga zakat.
Menurut Didin Hafidhuddin (2011), untuk menggali potensi zakat, maka ada empat langkah yang dilakukan. Pertama, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Kedua, penguatan amil zakat sehingga menjadi amil yang amanah, tepercaya, dan profesional.
Ketiga, penyaluran zakat yang tepat sasaran sesuai dengan ketentuan syariah dan memperhatikan aspek-aspek manajemen yang transparan. Keempat , sinergi dan koordinasi atau taawun baik antarsesama amil zakat (tingkat daerah, regional, nasional, dan internasional) maupun dengan komponen umat yang lain seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga-lembaga pemerintah, organisasi-organisasi Islam, perguruan tinggi, dan media massa.
Pengelolaan zakat mengalami perkembangan signifikan sejak berdirinya Dompet Dhuafa pada 1992. Ini mengubah pengelolaan zakat dari cara-cara yang konvensional dan tradisional menuju manajemen zakat yang modern, amanah, dan profesional.
Puncaknya dengan lahirnya UU Nomor 38/1999 yang kemudian direvisi lagi menjadi UU Nomor 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat yang di dalamnya mengatur zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Hal ini dapat dilihat dari transparansi dalam pengelolaan zakat, baik dalam menghimpun, mengelola, maupun menyalurkan, amil yang bekerja secara profesional, kantor yang representatif, publikasi di media massa, dan sebagainya.
Jadi, apa yang sekarang diwacanakan oleh Menteri Agama sebenarnya bukan hal baru. Misalnya, PNS muslim di Pemprov DKI Jakarta setiap bulan dipotong 2,5% untuk membayar zakat oleh Bazis DKI. Bahkan, sewaktu Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur, walaupun dia nonmuslim, gajinya dipotong 2,5%.
Kalau zakat yang dibayarkan oleh PNS muslim dihitung sebagai pengurang pajak (tax credit ) seperti di Malaysia yang dibayarkan melalui Pusat Pungutan Zakat (PPZ), saya kira akan banyak yang setuju.
Jika Menteri Agama serius dengan wacananya, benahi dulu regulasinya, yakni dengan mengusulkan ke DPR perubahan UU Pengelolaan Zakat yang mengatur zakat sebagai tax credit dan sanksi bagi yang tidak membayarnya. Tanpa hal itu, maka itu hanya pencitraan dan dampaknya Presiden Joko Widodo akan menjadi sasaran tembak kaum oposisi. Wallahualam.
(maf/sindonews.com)
Tags:
Edukasi