Edy Purwo Saputro
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo
KOMITMEN Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membatalkan 51 peraturan menteri dalam negeri (permendagri) menjadi acuan di tahun politik demi menarik investasi. Kebijakan ini dilakukan karena keyakinan adanya ancaman wait and see sebagai konsekuensi dari tahun politik.
Jika dicermati, pembatalan regulasi penghambat birokrasi bukan kali ini saja. Pada 2016 juga terjadi pembatalan 3.143 peraturan daerah (perda) oleh pemerintah yang menjadi sinyal positif dari urgensi birokrasi, meski di sisi lain hal ini juga memicu kontroversi. Paling tidak ada empat argumen di balik pembatalan perda seperti disampaikan Presiden Joko Widodo saat itu. Pertama , perda yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi di daerah. Kedua , perda yang memperpanjang birokrasi. Ketiga , perda yang menghambat perizinan investasi dan kemudahan bisnis. Keempat, perda yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan di atasnya.
Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa pembatalan ribuan perda itu merata di berbagai daerah, begitu juga dengan permendagri kali ini. Yang justru menjadi pertanyaan bagaimana logika regulasi itu bisa dibatalkan? Bukankah proses legalitas regulasi tersebut telah melalui prosedur ketat, termasuk melalui pembahasan oleh wakil rakyat?
Prosedur regulasi perda bisa diawali dari aspirasi rakyat yang kemudian disahkan oleh wakil rakyat. Perda juga muncul dari inisiatif wakil rakyat untuk kemudian hasilnya disosialisasikan ke masyarakat. Kedua tipe proses pembuatan perda tersebut tentu mengacu legalitas perundang-undangan yang berlaku. Artinya, ketika perda sudah disahkan dan sudah masuk ke lembar berita negara, mengapa kemudian pemerintah membatalkannya? Bagaimana regulasi terkait perda jika disinkronkan dengan era otonomi daerah (otda) yang memberikan keleluasaan dan kewenangan bagi daerah untuk mandiri? Apakah pembatalan ribuan perda semakin menguatkan dominasi pusat terhadap daerah? Lalu apa implikasi dari kasus pembatalan 51 permendagri kali ini?
Konsistensi
Pembatalan 51 permendagri adalah mata rantai dari kasus perda sebelumnya. Jika dicermati, persoalan utama ribuan perda bermasalah ialah mengganjal investasi dan kajian ini sangat menarik ditelaah karena memicu dampak negatif terhadap otda. Karena itu, temuan Komite Pelaksanaan Otonomi Daerah-KPPOD tentang adanya 3.734 perda beberapa waktu lalu, yang ternyata memicu hambatan terhadap investasi daerah, harus diurai. Ironisnya, pemerintah juga membatalkan 3.143 perda dari berbagai daerah. Artinya, kalkulasi angka tentang perda bermasalah adalah sangat besar dan ini tentu rentan di era otda jika dikaitkan dengan daya tarik investasi di era global.
Jika ditelusur ke belakang, pemerintah mengevaluasi ribuan perda karena diduga menghambat laju investasi, selain juga berbenturan dengan peraturan di atasnya. Temuan ini menjadi antiklimaks dari komitmen era otda dan tidak sejalan dengan misi Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) yang berniat memacu investasi di daerah agar daerah bisa lebih berkembang. Jadi, pembatalan 51 permendagri kali ini haruslah diapresiasi agar ke depan tidak ada regulasi penghambat investasi.
Belajar dari kasus 51 permendagri dan sejumlah perda di atas, Apkasi 5 tahun lalu pernah menyelenggarakan AITIS 2013 atau Apkasi International Trade and Invesment Summit , pada 15-17 Mei 2013 di Jakarta. Orientasi AITIS 2013 adalah memberikan peluang bagi daerah untuk memetakan potensi investasi di daerah, sekaligus mempromosikan serta memasarkan produk unggulan yang dimilikinya. Artinya otda yang pada 10 tahun terakhir ditandai maraknya ego pemekaran daerah seharusnya dikaji ulang karena hasil pemekaran tidak meningkatkan kesejahteraan, tapi justru banyak memunculkan persoalan baru pascapemekaran. Selain itu, pemekaran secara tidak langsung memicu munculnya perda-perda baru di daerah baru hasil pemekaran dan ini justru memicu hambatan bagi investasi. Artinya, semakin banyak pemekaran sangat rentan terhadap munculnya perda-perda yang bermasalah dan tidak sejalan lagi dengan semangat era otda yang memacu kemandirian. Jadi, pembatalan 51 permendagri harus menjadi contoh kelak.
Urgensi dari AITIS 2013 juga memberikan peluang bagi daerah untuk mengembangkan pembangunan di daerah. Capaian dari pembangunan di daerah yaitu mereduksi jumlah pengangguran-kemiskinan. Karena itu, capaian tersebut harus didukung investasi dan investasi harus didukung kemudahan regulasi-perizinan di daerah, termasuk perda yang konsisten memacu pertumbuhan ekonomi, bukan justru sebaliknya perda yang mereduksi potensi berkembang ekonomi. Artinya, jika pemda kooperatif dengan menciptakan perda yang mendukung iklim kondusif, geliat ekonomi di daerah akan berkembang dan berdampak positif terhadap bangkitnya ekonomi di daerah. Termasuk juga potensi ekonomi kreatif berbasis potensi sumber daya lokal dan aspek pemberdayaan masyarakat setempat. Implikasi penyerapan tenaga kerja dan perbaikan taraf hidup tercapai dengan penciptaan perda yang konsisten mendukung semangat otda.
Komitmen
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan bahwa jumlah pengangguran dan kemiskinan masih tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa sampai kini persoalan pengangguran masih berat dan ini juga terkait dengan kemiskinan. Terkait hal ini, realisasi investasi utamanya yang padat karya akan mampu mereduksi pengangguran. Karena itu, perda yang menghambat investasi di daerah justru rentan terhadap penyerapan tenaga kerja dan implikasinya bagi kemiskinan. Terkait ini, pemerintah berencana mengembangkan 132 desa produktif di 33 provinsi untuk mendorong kewirausahaan yang mengembangkan sektor riil, utamanya yang berbasis potensi sumber daya lokal dan industri kreatif yang sifatnya padat karya. Terkait ini, maka semua daerah harus memanfaatkan program ini, utamanya untuk dapat memetakan potensi industri kreatif dan sektor unggulan daerah sehingga memberikan kontribusi positif bagi perekonomian dan mereduksi pengangguran. Intinya, hal ini juga harus sinkron dengan realisasi investasi di daerah, bukannya justru ini dihambat dengan munculnya regulasi, baik permendagri atau perda bermasalah yang tidak proinvestasi.
Diakui bahwa otda butuh komitmen secara menyeluruh dan sinergi lintas sektoral, dari birokrat di daerah, wakil rakyat yang mendukung pembuatan perda kooperatif - kondusif, sampai masyarakat sebagai objek-subjek pembangunan. Karena itu, daerah harus bisa memiliki keunggulan kompetitif untuk memacu daya tarik investasi di era otda. Artinya, problem investasi tidak hanya dilihat akumulasinya, tetapi juga harus melibatkan banyak aspek, termasuk salah satu yang paling dominan saat ini yaitu penegakan hukum, terutama dikaitkan dengan tuntutan kemudahan perizinan, jaminan rasa aman, dan memangkas perda yang menghambat arus investasi. Dalih kemandirian daerah dan perolehan pendapatan asli daerah (PAD) dengan membuat perda mungkin harus dikaji ulang bagi daerah agar regulasi yang dibuat tidak justru menghambat laju pertumbuhan ekonomi di daerah.
(pur/sindonews.com)
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo
KOMITMEN Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membatalkan 51 peraturan menteri dalam negeri (permendagri) menjadi acuan di tahun politik demi menarik investasi. Kebijakan ini dilakukan karena keyakinan adanya ancaman wait and see sebagai konsekuensi dari tahun politik.
Jika dicermati, pembatalan regulasi penghambat birokrasi bukan kali ini saja. Pada 2016 juga terjadi pembatalan 3.143 peraturan daerah (perda) oleh pemerintah yang menjadi sinyal positif dari urgensi birokrasi, meski di sisi lain hal ini juga memicu kontroversi. Paling tidak ada empat argumen di balik pembatalan perda seperti disampaikan Presiden Joko Widodo saat itu. Pertama , perda yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi di daerah. Kedua , perda yang memperpanjang birokrasi. Ketiga , perda yang menghambat perizinan investasi dan kemudahan bisnis. Keempat, perda yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan di atasnya.
Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa pembatalan ribuan perda itu merata di berbagai daerah, begitu juga dengan permendagri kali ini. Yang justru menjadi pertanyaan bagaimana logika regulasi itu bisa dibatalkan? Bukankah proses legalitas regulasi tersebut telah melalui prosedur ketat, termasuk melalui pembahasan oleh wakil rakyat?
Prosedur regulasi perda bisa diawali dari aspirasi rakyat yang kemudian disahkan oleh wakil rakyat. Perda juga muncul dari inisiatif wakil rakyat untuk kemudian hasilnya disosialisasikan ke masyarakat. Kedua tipe proses pembuatan perda tersebut tentu mengacu legalitas perundang-undangan yang berlaku. Artinya, ketika perda sudah disahkan dan sudah masuk ke lembar berita negara, mengapa kemudian pemerintah membatalkannya? Bagaimana regulasi terkait perda jika disinkronkan dengan era otonomi daerah (otda) yang memberikan keleluasaan dan kewenangan bagi daerah untuk mandiri? Apakah pembatalan ribuan perda semakin menguatkan dominasi pusat terhadap daerah? Lalu apa implikasi dari kasus pembatalan 51 permendagri kali ini?
Konsistensi
Pembatalan 51 permendagri adalah mata rantai dari kasus perda sebelumnya. Jika dicermati, persoalan utama ribuan perda bermasalah ialah mengganjal investasi dan kajian ini sangat menarik ditelaah karena memicu dampak negatif terhadap otda. Karena itu, temuan Komite Pelaksanaan Otonomi Daerah-KPPOD tentang adanya 3.734 perda beberapa waktu lalu, yang ternyata memicu hambatan terhadap investasi daerah, harus diurai. Ironisnya, pemerintah juga membatalkan 3.143 perda dari berbagai daerah. Artinya, kalkulasi angka tentang perda bermasalah adalah sangat besar dan ini tentu rentan di era otda jika dikaitkan dengan daya tarik investasi di era global.
Jika ditelusur ke belakang, pemerintah mengevaluasi ribuan perda karena diduga menghambat laju investasi, selain juga berbenturan dengan peraturan di atasnya. Temuan ini menjadi antiklimaks dari komitmen era otda dan tidak sejalan dengan misi Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) yang berniat memacu investasi di daerah agar daerah bisa lebih berkembang. Jadi, pembatalan 51 permendagri kali ini haruslah diapresiasi agar ke depan tidak ada regulasi penghambat investasi.
Belajar dari kasus 51 permendagri dan sejumlah perda di atas, Apkasi 5 tahun lalu pernah menyelenggarakan AITIS 2013 atau Apkasi International Trade and Invesment Summit , pada 15-17 Mei 2013 di Jakarta. Orientasi AITIS 2013 adalah memberikan peluang bagi daerah untuk memetakan potensi investasi di daerah, sekaligus mempromosikan serta memasarkan produk unggulan yang dimilikinya. Artinya otda yang pada 10 tahun terakhir ditandai maraknya ego pemekaran daerah seharusnya dikaji ulang karena hasil pemekaran tidak meningkatkan kesejahteraan, tapi justru banyak memunculkan persoalan baru pascapemekaran. Selain itu, pemekaran secara tidak langsung memicu munculnya perda-perda baru di daerah baru hasil pemekaran dan ini justru memicu hambatan bagi investasi. Artinya, semakin banyak pemekaran sangat rentan terhadap munculnya perda-perda yang bermasalah dan tidak sejalan lagi dengan semangat era otda yang memacu kemandirian. Jadi, pembatalan 51 permendagri harus menjadi contoh kelak.
Urgensi dari AITIS 2013 juga memberikan peluang bagi daerah untuk mengembangkan pembangunan di daerah. Capaian dari pembangunan di daerah yaitu mereduksi jumlah pengangguran-kemiskinan. Karena itu, capaian tersebut harus didukung investasi dan investasi harus didukung kemudahan regulasi-perizinan di daerah, termasuk perda yang konsisten memacu pertumbuhan ekonomi, bukan justru sebaliknya perda yang mereduksi potensi berkembang ekonomi. Artinya, jika pemda kooperatif dengan menciptakan perda yang mendukung iklim kondusif, geliat ekonomi di daerah akan berkembang dan berdampak positif terhadap bangkitnya ekonomi di daerah. Termasuk juga potensi ekonomi kreatif berbasis potensi sumber daya lokal dan aspek pemberdayaan masyarakat setempat. Implikasi penyerapan tenaga kerja dan perbaikan taraf hidup tercapai dengan penciptaan perda yang konsisten mendukung semangat otda.
Komitmen
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan bahwa jumlah pengangguran dan kemiskinan masih tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa sampai kini persoalan pengangguran masih berat dan ini juga terkait dengan kemiskinan. Terkait hal ini, realisasi investasi utamanya yang padat karya akan mampu mereduksi pengangguran. Karena itu, perda yang menghambat investasi di daerah justru rentan terhadap penyerapan tenaga kerja dan implikasinya bagi kemiskinan. Terkait ini, pemerintah berencana mengembangkan 132 desa produktif di 33 provinsi untuk mendorong kewirausahaan yang mengembangkan sektor riil, utamanya yang berbasis potensi sumber daya lokal dan industri kreatif yang sifatnya padat karya. Terkait ini, maka semua daerah harus memanfaatkan program ini, utamanya untuk dapat memetakan potensi industri kreatif dan sektor unggulan daerah sehingga memberikan kontribusi positif bagi perekonomian dan mereduksi pengangguran. Intinya, hal ini juga harus sinkron dengan realisasi investasi di daerah, bukannya justru ini dihambat dengan munculnya regulasi, baik permendagri atau perda bermasalah yang tidak proinvestasi.
Diakui bahwa otda butuh komitmen secara menyeluruh dan sinergi lintas sektoral, dari birokrat di daerah, wakil rakyat yang mendukung pembuatan perda kooperatif - kondusif, sampai masyarakat sebagai objek-subjek pembangunan. Karena itu, daerah harus bisa memiliki keunggulan kompetitif untuk memacu daya tarik investasi di era otda. Artinya, problem investasi tidak hanya dilihat akumulasinya, tetapi juga harus melibatkan banyak aspek, termasuk salah satu yang paling dominan saat ini yaitu penegakan hukum, terutama dikaitkan dengan tuntutan kemudahan perizinan, jaminan rasa aman, dan memangkas perda yang menghambat arus investasi. Dalih kemandirian daerah dan perolehan pendapatan asli daerah (PAD) dengan membuat perda mungkin harus dikaji ulang bagi daerah agar regulasi yang dibuat tidak justru menghambat laju pertumbuhan ekonomi di daerah.
(pur/sindonews.com)