Kami Bukan Kids Jaman Now, Kami Kids Jaman Next!

Dalam pergelutan dinamika di media sosial selama beberapa bulan terakhir, sebuah fenomena bahasa kembali menyita perhatian publik. Setelah kekuatan publik sempat difokuskan untuk memviralkan “Om Telolet Om” ke seluruh penjuru dunia, kembali kekuatan linguistik “otak-atik gathuk” mendapatkan panggungnya. Istilah “Kids Jaman Now” berhasil mengambil alih perhatian publik. Setelah spotlight diberikan kepada para Busmania, kali ini lampu sorot diarahkan kepada generasi muda. Selamat!

Istilah “Kids Jaman Now” sendiri memiliki cerita yang cukup unik sebelum akhirnya menjadi viral. Istilah ini berawal dari meme yang menghiasi perbincangan di kolom komentar di linimasa LINE yang didominasi oleh akun Kak Seto abal-abal. Biasanya disertai dengan berbagai kata pendamping lain seperti “Dasar Kids Jaman Now kebanyakan micin” hingga yang lebih kasar “saya sleding kepala Kids Jaman Now satu-satu”, istilah Kids Jaman Now tiba-tiba menjadi suatu fenomena yang dikomodifikasi oleh hampir semua kalangan masyarakat di berbagai dialog yang berkepentingan yang berkaitan dengan “jaman sekarang”. Mulai dari chatting di media sosial, percakapan sehari-hari, berita-berita di koran hingga baliho calon gubernur, semua membubuhkan “Jaman Now” sebagai penanda keberpihakannya pada jaman sekarang. Sesuatu yang baik, kalau diteropong dari permukaan, yang artinya publik menganggap jaman now adalah jamannya anak-anak muda, dimana Generasi Y (Millenials) dan Generasi Z adalah juru kunci kemajuan jaman.


Namun akan menjadi sesuatu yang kontraproduktif bagi kita semua, kalau mengingat bahwa istilah “Jaman Now” sebenarnya pertama kali muncul sebagai usaha labelling bagi oknum generasi muda yang berbuat di luar norma (juvenile delinquency), seperti pelaku seks bebas, kecanduan narkoba, tawuran, dan kenakalan-kenakalan lainnya. Sebelum menjadi booming, kecaman ini ditujukan secara spesifik kepada perilaku-perilaku menyimpang tersebut.

Bayangan saya, istilah Kids Jaman Now datang bersamaan dengan fenomena global yang melanda seluruh dunia selama beberapa tahun terakhir, yaitu fenomena hidup kekinian, berorientasi pada hal-hal yang ada kini. Kita temui bersama istilah yang mirip di Barat seperti YOLO (You Only Live Once) yang tak lain adalah ajakan untuk menikmati hidup yang hanya sekali di masa kini. Dimensi waktu yang diambil mirip dengan Jaman Now. Punya nilai-nilai yang cukup identik juga.

Padahal, tidak semua anak muda terlibat dalam gaya hidup yang demikian. Banyak juga anak-anak muda yang dengan tekun merencanakan masa depannya, belajar keras bersimbah keringat, pergi pagi pulang malam untuk meniti jalan hidupnya. Tidak sedikit anak-anak muda tersebut yang berprestasi di kancah internasional, nasional, provinsi, kabupaten, bahkan mungkin desa yang dengan keras mempersiapkan segala sesuatu yang mungkin jauh dari perhatian pers maupun publik. Anak-anak muda ini tidak hanya hidup untuk hari ini. Tidak hanya live for now tetapi juga live for the future, for the next days. Mereka inilah yang akan memegang peranan penting di negara kita pada tahun 2045, tepat seratus tahun kemerdekaan Indonesia.

Jadi saya menggugat penggunaan istilah Jaman Now untuk segala situasi. Ada rasa yang janggal apabila istilah tersebut terus digunakan untuk menyebut generasi kami dengan segala tindak tanduknya. Harus ada pergeseran paradigma untuk terus melihat ke depan, bukan terjebak di masa kini. Kami, anak-anak muda Indonesia bukan Kids Jaman Now, bukan anak-anak masa kini. Kami pemilik masa depan, kami Kids Jaman Next!

Ubud, 28 Desember 2017

Pelajar kelas XI di SMAN 5 Surabaya dan Ketua Aliansi Pelajar Surabaya | suaramuslim.net

Post a Comment

Previous Post Next Post