Tiga Tahun, Sebuah Pesan Untuk JK dari Kampung

Ahmad Takbir Abadi
Seribu sembilan puluh lima hari adalah perjalanan peluh dan penuh keringat. Pengorbanan yang pada 2014 silam dihadapan wakil-wakil rakyat kita, dua putra terbaik bangsa ini mengucap sumpah.

Tak hanya mereka yang di Senayan, hari nan penting dan bersahaja semenjak negara ini merdeka juga disiarkan lewat televisi dan disaksikan oleh seluruh pasang mata di  Republik ini. Jusuf Kalla dilantik sebagai seseorang yang mendampingi Joko Widodo untuk menahkodai Nusantara.

Catatan penuh harapan adalah cita-cita bersama untuk mewujudkan nawacita untuk semua. Kerja hebat dengan integritas dan kapasitas diri demi kemakmuran bersama juga menjadi jalan untuk bergandeng menuju Indonesia gemilang.

Pembangunan  menyentuh daerah pelosok hingga hiduplah ekonomi disana, infrastruktur nasional mulai dibangun satu persatu, memperpanjang jalan tol dan juga pemerataan pusat-pusat ekonomi. Beberapa suara dari nawacita sudah mulai muncul, namun belum semua. Membutuhkan kerja bersama untuk mewujudkannya. Pekerjaan masih terancang, masih membutuhkan hari dan keringat yang banyak.

Tiga tahun memegang setir kemana bangsa ini akan berjalan. Beberapa catatan penting mencuak, bukan celaan tapi semata untuk pembangunan.

Rapor merah pun dikantongi oleh beberapa kepala yang membaca dengan jelas. Massa memenuhi jalan, Mahasiswa menuntut keadilan. Jalan-jalan kemudian berdarah berisi suara-suara tentang sebuah pertanyaan apakah kita sudah merdeka? Pertanyaan itu sering kali diucap lewat pengeras suara, begitu sering, begitu lantang dan berulang kali didengar.

Tiga poin penting yang mengisi poster dan pamflet dalam barisan perjuangan, isinya adalah realita baginya yang menderita dan belum merasakan lezatnya kemakmuran yaitu turunkan kesenjangan ekonomi, wujudkan kedaulatan rakyat, serta tegakkan supermasi hukum.

Sepenggal catatan khusus untuk seseorang kelahiran kota beradat Bumi Arung Palakka, Nama kecilnya Yusuf sekolah dasar di Bone hingga melanjutkan ke Ujung Pandang. Besar dan berkembang di Kota Daeng tempat cinta dan segalanya tercipta dengan penuh dinamika.

Pernah menjadi orang penting dibeberapa organisasi, hingga tanda tangannya terpajang jelas sebagai CEO di beberapa perusahaan.

Politik adalah pentas yang mampu menimbulkan keasilian seseorang. JK sebagai orang Bugis Makassar tak pernah lupa tentang budaya santun dan beradat.

Sipakatau masih berjejak dibenaknya Sikap yang memanusiakan manusia seutuhnya dalam kondisi apapun. Saling menghormati sesama manusia tanpa melihat siapa yang dia pilih pada saat pemilu.

Juga Sipakainge, sifat saling mengingatkan demi keseimbangan kehidupan agar jalan tak salah arah.

Tak lupa budaya sipakalebbi sifat manusia yang selalu ingin dihargai. Maka sifat Sipakalebbi ini adalah wujud apresiasi. Sifat yang mampu melihat sisi baik dari orang lain dan memberikan ucapan bertutur kata yang baik atas prestasi yang telah diraihnya.

Polemik seseorang bersebrangan juga tak masalah. Intinya mereka masih benar dan berjalan pada kodrat sesungguhnya.

Kami sungguh bangga, ketika seorang JK punya keputusan yang membuat rakyat mengiring dengan  tepuk tangan yang sangat meriah.

JK tak perlu menjadi boneka siapa saja yang mencari nama pun efektabilitas, juga tak perlu memenangkan orang-orang yang berjuang di pilkada.

Pemilu 2004 dan 2014 telah membuktikan bahwa Jusuf Kalla adalah pemimpin  yang bersahaja. Pernah gagal tapi tak pernah menyerah.

Kepada  pak JK, Rawatlah budaya bugis dengan baik, kurang lebih tujuh ratus hari lagi untuk memperbaikinya, mewujudkan nawacita dengan penuh pengabdian serta sungguh-sungguhnya pengorbanan.

Oleh   : Ahmad Takbir Abadi
Seorang Bugis di Maros | Bonepos.com

Post a Comment

Previous Post Next Post