Fakta Dapat Kalah di Era Post Truth

Oleh: Prof. Dr. Henry Subiakto.

Sebuah atau beberapa fakta yg membuktikan adanya kesalahan berfikir tidak akan mengubah sikap atau pandangan pribadi orang-orang tertentu. Karena sikap politik yg sudah  terkait dengan emosi, harga diri, atau urusan hati, menjadi tidak rasional lagi dan stubborn (kepala batu).

Banyak orang memperlakukan sikap politik tak hanya sebagai kepentingan tapi sudah diperlakukan seperti keyakinan yangg harus dibela dan dipertahankan mati matian. Bahkan banyak orang gembira dan percaya saat ada media abal abal, hoax, atau buzzer  membenarkan sikap mereka, atau menjelekkan pihak yg lain. Walau secara nyata pesan itu bertentangan dengan fakta. Itulah mengapa fakta sering menjadi tidak bermakna di era social media.
Post Truth Era adalah jaman dimana ada banyak pihak secara sengaja memproduksi informasi untuk membangkitkan emosi dan memupuk sikap yangg sudah ada, termasuk sikap radikal dalam berpolitik, ultra nasionalis dan lain lain. Opini dan politik di era ini tidak lagi ditentukan oleh fakta dan objektivitas tapi lebih berdasar emosi dan kepercayaan. Tuduhan yang tak berdasarpun akan dianggap sebagai kebenaran kalau sesuai dengan emosi dan sikap yang dipercaya tadi.

Maka tidaklah heran di era post truth sekarang ini, seorang tokoh penuduh yang “ngawur” seperti Donald Trump pun bisa jadi presiden AS. Keputusan keluar dari Uni Eropa atau Brexit yang jelas-jelas mempersulit dan merugikan Inggrispun, malah menang referendum di UK tahun lalu.
Trump menuduh kekuarga Clinton sebagai keluarga pembunuh. Obama dituduh memelihara ISIS, dan Bush dituduh perekayasa tragedi 11 September. Tak hanya itu, Trump juga menuduh kaum imigran dan muslim itu membahayakan Amerika Serikat. Tuduhan tuduhan itu ternyata dipercaya sebagian besar rakyat Amerika, dan Trump pun menjadi presiden.

Fenomena post truth memang fenomena baru, terkait mudahnya informasi dibuat oleh siapapun dan menyebar di media sosial, mengikuti kecenderungan emosi masyarakat. Post truth juga duwarnai tumbuhnya media abal abal (fake media) yg gencar mempriduksi hoax berkolaborasi dengan politisi yg mengabaikan etika.

Di negeri ini Post Truth juga terjadi, dengan fenomena kemunculan tokoh tokoh penuduh di panggung politik, yang tentu menggadilkan keriuhan di medsos. Hoax dan tuduhan sering menyebar dan viral hingga sempat memunculkan riak riak politik yang hampir mengganggu stabilitas.
Era post truth juga banyak diwarnai munculnya berbagai tuduhan tak berdasar, tapi dianggap fakta oleh banyak orang, dan sempat menyebar viral di media sosial.

Di negara seperti Jerman, Era post truth ditanggapi dengan mengeluarkan regulasi bahwa Google, Face Book dan OTT lain harus bertanggung jawab terhadap peredaran hoax dan fake news. Mereka dikenakan denda milyaran rupiah tiap terbukti, membiarkan beredarnya hoax di media mereka. Rusia mengenakan pemblokiran terhadap aplikasi yg dipakai penyebar hoax. Pemblokiran juga dilakukan beberapa negara untuk menghadapi penggunaan medsos oleh Teroris.

Alhamdulillah fenomena post truth di Indonesia hanya terbatas gaduh di media sosial. Itupun mendapat counter balik, tak hanya oleh negara atau lembaga resmi, juga sudah ada regulasi, bahkan civil society dan masyarakat cukup aktif melakukan program anti hoax. Dengan demikian, manipulasi informasi ala post truth di Indonesia, tidak mampu mengubah keadaan negara secara signifikan, tidak separah seperti kasus di negara lain. Semoga.


Penulis Dosen di Unair Surabaya

Post a Comment

Previous Post Next Post