Mengurai Benang Kusut Honorer

Pekan lalu, Rabu – Jumat (10 – 12 Februari 2016), pegawai honorer Kategori 2 (K2) mengadakan demonstrasi ke Jakarta. Mereka ingin bertemu dengan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, untuk menyampaikan tuntutan agar segera diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mereka beralasan bahwa Presiden Joko Widodo pernah menjanjikan pengangkatan itu melalui kontrak politik yang ditandatanganinya. Karena itulah, hingga memasuki hari ketiga, para demonstran terus melanjutkan aksinya sampai Presiden Joko Widodo menemuinya.
Jika menelisik dasar atas dilakukannya demonstrasi tersebut, terlebih dahulu kita perlu mencermati kontrak politik yang ditandatangani Calon Presiden Joko Widodo pada 5 Juli 2014 yang kini beredar luas di sosial media. Ada tiga poin penting yang disampaikan, yaitu:

Satu, mewujudkan TRILAYAK bagi tenaga pengajar dan pendidik, memberikan kepastian perlindungan hukum, ekonomi, politik, sosial dan budaya bagi mereka yang sejalan dengan pemenuhan hak rakyat atas pendidikan.

Dua, bertanggung jawab atas kesejahteraan tenaga pengajar dan pendidik, memastikan upah yang layak (bukan sekadar tunjangan), apapun status kerjanya, minimal sesuai dengan Upah Minimum Kota/ Kabupaten. Pemerintah RI wajib memberikan jaminan peningkatan kemampuan mereka, termasuk sertifikasi yang tidak komersial, diberikannya jaminan pendidikan termasuk bagi anak-anak mereka, memberikan jaminan sosial (Jaminan Kesehatan, Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Hari Tua) bagi tenaga pengajar dan pendidik beserta keluarganya.

Tiga, melakukan komunikasi intensif dengan pemerintah daerah dan institusi pendidikan, agar terwujud sistem perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) bagi tenaga pengajar dan pendidik yang berkeadilan, transparan, dan tanpa pungutan apapun. Karenanya, dalam perekrutan tersebut wajib diprioritaskan bagi tenaga pengajar dan pendidik beserta keluarganya yang telah mengabdikan diri tiga tahun ke atas.

Dari tiga poin kontrak politik di atas, tidak ada satu pun isi pernyataan yang menyatakan bahwa pemerintah telah berjanji untuk mengangkat tenaga honorer menjadi CPNS. Karena itu pula, pemerintah tetap melanjutkan kebijakan moratorium penerimaan PNS. Terlebih, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, PNS Indonesia per 2014 berjumlah 4.455.303 orang.

Memang moratorium penerimaan CPNS itu tidak berlaku untuk tenaga medis, pendidikan, dan tenaga ahli lainnya. Namun, pemerintah tentu berusaha berhati-hati untuk mengadakan PNS baru agar beban APBN tidak semakin berat. Perlu diketahui bahwa setiap tahun pemerintah sudah ngos-ngosan membayar gaji PNS, membayar cicilan utang luar negeri, dan belanja pembangunan.


Win-win Solution

Berdasarkan kondisi di atas, ada tiga pilihan yang dapat digunakan pemerintah untuk menyelesaikan benang ruwet tenaga honorer. Pertama, adakan pengangkatan CPNS terbatas. Seperti isi kontrak politik di atas, Presiden Joko Widodo harus menepati janji dengan mengadakan rekrutmen CPNS secara berkeadilan, transparan, dan tanpa pungutan.

Pengangkatan CPNS dapat mengurangi dampak politis sekaligus dapat digunakan untuk tambal sulam PNS yang Memasuki Masa Pensiun (MMP). Jadi, jumlah PNS tetap sehingga anggaran gaji PNS dalam APBN juga tidak berubah. Rekrutmen CPNS harus dilakukan secara terbuka agar benar-benar diperoleh SDM PNS yang memiliki daya saing serta produktif. Selain itu, tenaga honorer perlu dibedakan dengan peserta tes CPNS umum dan tenaga honorer harus mendapatkan prioritas dengan diberikan tambahan poin berdasarkan masa kerjanya.

Kedua, tingkatkan kesejahteraan tenaga honorer. Seperti isi klausul kontrak politik di atas, tenaga honorer wajib diberikan penghasilan setara dengan UMR/UMP dan kesejahteraan lainnya. Upah tenaga honorer dapat dihitung berdasarkan beban kerja. Jadi, penghasilan setiap tenaga honorer bisa berbeda karena jumlah jam kerja dan produktivitasnya juga berbeda.

Pemerintah dapat mempertimbangkan pilihan ini untuk menghemat APBN. Dengan memberikan tambahan penghasilan berdasarkan UMR, setidak-tidaknya pemerintah sudah menepati janji dan terhindar dari jebakan politis. Selain itu, pemerintah juga dapat menekan tenaga honorer agar bekerja lebih giat dengan memberikan rambu-rambu sanksi hukum bagi tenaga honorer yang bermalasan.

Ketiga, ratakan persebaran PNS. Jika dihitung berdasarkan rasio, sebenarnya jumlah PNS sudah memenuhi kebutuhan. Sayangnya, persebaran PNS itu tidak merata. Kebanyakan PNS menumpuk di Jawa dan kota-kota besar. Pada kesempatan yang berbeda, sering kita baca kelangkaan PNS di daerah pedalaman dan pinggiran.

Atas kondisi itu, pemerintah perlu menawarkan pilihan kepada PNS agar bersedia ditempatkan ke daerah yang masih kekurangan PNS. Pemerintah dapat menggunakan payung hukum sumpah jabatan PNS, yaitu bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia. Jika PNS itu tidak bersedia dipindah, pemerintah dapat memberikan pilihan pensiun dini dan mengangkat tenaga honorer untuk ditempatkan di daerah yang membutuhkan tersebut.

Rabu, 27 Januari 2016, penulis selaku pegiat media, diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Negara Jakarta. Pada kesempatan itu, penulis menyampaikan pendapat bahwa jumlah PNS, khususnya guru, sudah melebihi kebutuhan. Kondisi ini terlihat dari rasio kebutuhan 24 jam mengajar per pekan. Di Jawa dan kota besar, guru sangat sulit untuk memenuhi kewajiban jumlah jam mengajar. Di luar Jawa, justru banyak sekolah negeri kekurangan guru.

Untuk mengatasi kekurangan PNS di luar Jawa, khususnya guru, pemerintah dapat mengangkat tenaga honorer menjadi CPNS asalkan bersedia ditempatkan di luar Jawa dengan perjanjian tidak mengajukan mutasi atau pindah tempat kerja selama sekian tahun. Kebijakan itu pun dapat diberlakukan untuk pengangkatan tenaga honorer non-guru menjadi CPNS. Maka, sedikit demi sedikit, benang kusut tenaga honorer dapat terurai. Tentu saja kebesaran jiwa tenaga honorer diperlukan dengan tidak menekan pemerintah sambil berteriak-teriak,”PNS adalah harga mati!” ***

Johan Wahyudi
Guru SMP Negeri 2 Kalijambe, Sragen

Link: https://joglosemar.co/2016/02/128476.html

إرسال تعليق

أحدث أقدم