Kusfiardi: Otonomi Lembaga Perpajakan

Kusfiardi 
Analis Ekonomi-Politik

AJAK berperan pen­ting sebagai sum­ber pendanaan pem­bangunan. Pentingnya pajak menuntut kinerja otoritas perpajakan yang efisien dan kompetitif. Negara selayaknya memberikan oto­nomi dan fleksibilitas fungsi ke­pada otoritas pajak.

Sistem administrasi per­pajakan yang saat ini berjalan di Indonesia dikelola oleh lebih dari satu direktorat di bawah Kementerian Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Sistem ter­sebut membuat otoritas pajak memiliki kewenangan yang sa­ngat terbatas. Proses birokrasi yang berlaku membuat otoritas pajak tidak dapat mendesain organisasi sendiri secara cepat. Kurangnya fleksibilitas juga me­nyulitkan DJP dan termasuk DJBC melakukan perubahan dan pengembangan adminis­trasi perpajakan. Termasuk me­lakukan perbaikan internal dalam rangka mengikuti dan mengantisipasi perkembangan dunia usaha dan ekonomi yang cepat dan dinamis di lapangan.

Perkembangan realitas ter­sebut melatarbelakangi adanya kebutuhan penguatan kewe­nang­an otoritas pajak. Lembaga perpajakan yang sekarang perlu diperkuat dengan cara mele­pas­nya dari Kementerian Ke­uang­an, menjadi lembaga otonom yang bertanggung jawab kepada presiden. Pemisahan ini harus disertai dengan sejumlah ke­we­nangan yang memperkuat lem­baga otoritas pajak.

Merujuk pada Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), setidak­nya ada sembilan kewenangan yang idealnya dimiliki otoritas pajak. Pertama, kewenangan mem­buat peraturan. Kedua, ke­wenangan mengenakan sanksi atau denda.  Ketiga, kewenangan mendesain sendiri struktur organisasi internal. Keempat, kewenangan penganggaran dan pengalokasian anggaran. Kelima, kewenangan manajemen, penga­turan komposisi pegawai. Keenam , kewenangan merekrut karyawan. Ketujuh, kewe­nang­an mempekerjakan atau me­me­cat karyawan. Kedelapan, kewe­nangan negosiasi penetapan upah karyawan; dan Kesembilan, kewenangan menetapkan stan­dar pelayanan.

Kewenangan otoritas pajak yang memadai akan berkorelasi dengan semakin baiknya sistem perpajakan. Dalam menen­tu­kan kewenangan otoritas pajak, tentu saja harus mem­per­tim­bangkan aspek propor­siona­litas. Kewenangan yang diberi­kan kepada otoritas pajak harus selaras dengan kebutuhan dan sumber daya yang dimilikinya. Melalui kewenangan itu, oto­ritas pajak harusnya memiliki kemampuan untuk mengatasi segala hambatan dalam mewu­jud­kan manajemen organisasi yang efektif dan efisien.

Pada sisi yang lain, kewe­nang­an yang dimiliki oleh otoritas pajak harus diimbangi dengan transparansi dan akuntabilitas. Tak kalah penting, harus di­imbangi juga dengan peng­awas­an yang memadai guna mewu­jud­kan check and balance. Pada prinsipnya, penguatan lembaga otoritas pajak harus berada dalam koridor tata kelola yang baik.

Dalam rumusan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP), soal kewenangan otoritas pajak belum memadai. Perumusan kebijakan perpajakan masih dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pe­merintahan dalam bidang ke­uangan. Lembaga hanya me­nyelenggarakan administrasi perpajakan dan penghimpunan penerimaan negara di bidang perpajakan, termasuk meru­mus­kan dan menjalankan tata cara atau prosedur perpajakan.

Dalam rumusan RUU KUP, pasal 95 dinyatakan bahwa ke­dudukan lembaga berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden melalui men­teri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ke­uangan. Walaupun berke­du­duk­an di bawah dan bertang­gung jawab kepada presiden, semua pelaporan oleh lembaga terhadap penyelenggaraan administrasi perpajakan dan penghimpunan penerimaan negara di bidang perpajakan disampaikan terlebih dahulu kepada menteri yang me­nye­leng­garakan urusan pemerin­tah­an di bidang keuangan se­bagai bentuk koordinasi dan evaluasi sebelum disampaikan kepada presiden.

Dengan rumusan ini, oto­nomi lembaga sebagai otoritas pajak masih belum banyak mengalami perubahan. Pada­hal, otoritas pajak mem­butuh­kan kewenangan yang lebih me­madai untuk mengoptimalkan peran dan fungsi dalam meng­galang penerimaan negara dari sumber pajak.
Untuk pengawasan pe­nye­leng­garaan perpajakan, menu­rut RUU KUP, dilakukan oleh ko­mite yang dibentuk oleh men­teri keuangan. Komite ini ber­peran dalam melakukan peng­awasan dan memberikan per­timbangan perpajakan. Dengan ketentuan ini, tentu keberadaan komite tidak akan membawa perubahan berarti, apalagi jika dimaksudkan sebagai check and balance guna mewujudkan tata kelola yang baik dalam per­pajakan nasional.

Lembaga selaku otoritas pajak seharusnya diatur oleh RUU KUP untuk menyeleng­gara­kan tugas pemerintahan di bidang perpajakan meliputi perumusan kebijakan per­pajakan terkait dengan subjek, objek, dan tarif pajak, serta penentuan target penerimaan pajak; dan penyelenggaraan administrasi perpajakan dan penghimpunan penerimaan negara di bidang perpajakan. Kedudukan lembaga berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.

Dalam rangka penyeleng­gara­an perpajakan dilakukan peng­awasan dan pemberian per­tim­bangan perpajakan oleh komite yang dipimpin secara kolektif ko­legial oleh komisio­ner. Komisio­ner Komite Peng­awasan merupa­kan usulan presiden kepada DPR untuk menjalani uji kepatutan dan kelayakan. Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja lembaga, serta peng­awasan dan pemberian per­tim­bangan per­pa­jak­an diatur de­ngan atau ber­dasar­kan per­atur­an presiden.

Dengan formulasi tersebut, kedudukan lembaga otoritas pajak memiliki kewenangan yang memadai untuk mewu­jud­kan kinerja yang lebih baik.

Adanya lembaga pengawas (komite) yang dibentuk dengan melibatkan DPR merepresen­tasi­kan pengawasan masyara­kat me­lalui lembaga perwakilan rakyat. Melalui pengaturan ter­sebut, sistem perpajakan kita men­jadi lebih kompatibel de­ngan kebu­tuh­an dan sejalan dengan prinsip tata kelola yang baik.(mhd)

Sumber: Sindonews.com

Post a Comment

Previous Post Next Post